Headlines News :
Home » » Untung Saja MK Batalkan RPP Penyadapan

Untung Saja MK Batalkan RPP Penyadapan

Written By Unknown on Minggu, 06 Maret 2011 | 12.05

Oleh ARIYANTO

Untung saja Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyadapan dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Coba kalau tidak, bisa jadi sejumlah pihak akan mendapatkan keuntungan karena mereka mustahil untuk disadap. Terutama pihak yang terkait langsung jika RPP Penyadapan disahkan.
Mereka adalah Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kapolri, Presiden dan jajaran menteri, serta Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan seluruh jajaran pengadilan hingga Mahkamah Agung. Sebab, mereka memiliki peran dominan bagi terlaksana atau tidaknya penyadapan yang dilakukan penegak hukum. Bahkan, KPK yang ingin menyadap instansi ini kemungkinan proses penyadapannya ditolak, berlarut-larut, atau setidak-tidaknya bocor.
Sangat dimungkinkan pula sejumlah lembaga negara akan menerima ’’bocoran’’ rencana penyadapan atau intersepsi yang dilakukan KPK. Penyadapan KPK yang selama ini rahasia, akan jadi celah baru bagi intervensi pemerintah.
Tapi, ini hanyalah kecurigaan saya. Bisa jadi salah, mengingat saat ini pemerintah terlihat cukup serius memberantas tindak pidana kolusi, korupsi, dan nepotisme. Namun, kecurigaan saya bisa jadi benar kalau kekuasaan yang cenderung korup itu (power tend to corrupt) tidak dikontrol.
Melihat lembaga peradilan kita yang masih lekat dengan praktik KKN, hal itu sangat dimungkinkan terjadi. Masih ingat kasus Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima suap USD 660 ribu dari pengusaha Artalyta Suryani pada Maret 2008 dalam kasus BLBI? Masih ingat kasus AKP Sri Sumartini, terdakwa kasus suap Gayus HP Tambunan? Itu hanyalah sekadar untuk menyebut beberapa nama betapa lembaga peradilan ini masih lekat sekali dengan KKN. Apakah lembaga seperti ini yang nantinya punya lisensi untuk melakukan penyadapan?
Untung saja ada MK, sehingga RPP penyadapan itu batal disahkan. Pada 24 Februari 2011, MK mengabulkan uji materi pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam putusannya, Majelis Konstitusi menegaskan bahwa pasal yang digugat itu bertentangan dengan UUD 1945. Pasal itu berbunyi: ’’Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.’’
Dengan begitu, ketentuan Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengamanatkan pengaturan intersepi (penyadapan) melalui Peraturan Pemerintah bertentangan dengan UUD 1945.
Untung saja juga ada keputusan MK ini. Coba kalau tidak, pembicaraan kita akan dapat mudah disadap. Ini melanggar hak asasi karena termasuk wilayah privasi. Sangat merugikan, khususnya bagi pengacara karena pembicaraan mereka dengan klien bisa disadap. Padahal, sesuai Pasal 19 ayat 2 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, seorang advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.
Pasal 31 ayat 4 UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE ini jelas telah bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi: ’’Dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.’’
Jadi, menurut saya, Putusan MK yang membatalkan pasal penyadapan di UU ITE ini sudah tepat. Ini sesuai dengan jiwa UUD 1945, termasuk juga HAM. Saya sependapat dengan penilaian MK bahwa masalah penyadapan harus diatur dengan undang-undang.
Di UU ini di antaranya perlu dirumuskan tentang siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup. Ini berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti.
Selain itu, perlu juga memasukkan bagaimana mengatur operator. Sebab, operator penyadap harus diberi ketentuan yang optimal dalam konteks apa dia diperkenankan melakukan penyadapan. Semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan yang melanggar hak asasi. (*)

INDOPOS, 4 Maret 2011
Share this article :

1 komentar:

  1. Kekuatan FreeMason Yahudi bermain di balik aksi Anggodo, Budionoh, Gayus, Robert, Sri, Susiloh, dll.?
    Semua orang sepertinya berusaha untuk saling menutupi agar kedok anggota mafia FreeMason utamanya tidak sampai terbongkar.
    Jika memang benar demikian, maka tidak akan ada yang bisa menangkap dan mengadili Gembong tersebut -di dunia ini- selain Mahkamah Khilafah!
    Mari Bersatu, tegakkan Khilafah!
    Mari hancurkan Sistem Jahiliyah dan terapkan Sistem Islam, mulai dari keluarga kita sendiri!

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Pinggiran - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template