Headlines News :
Home » » Birokrat Profesional Mampu Tingkatkan Pelayanan Legislator

Birokrat Profesional Mampu Tingkatkan Pelayanan Legislator

Written By Unknown on Selasa, 08 Juni 2010 | 18.28

Reorganisasi Setjen DPD RI untuk Optimalisasi Peran dan Fungsi Lembaga

Peran sekretariat jenderal (setjen) lembaga legislatif sangat penting. Sebab, setjen merupakan sistem pendukung bagi semua lembaga legislatif DPR, MPR, dan DPD. Banyak peluang penyempurnaan pelaksanaan tugas parlemen yang bisa dipengaruhi oleh perbaikan sistem kerja di jajaran setjen. Apa yang dilakukan Setjen DPD RI untuk optimalisasi peran dan fungsi lembaga dan apa saja kendalanya? Berikut petikan wawancara INDOPOS, ARIYANTO, dengan Sekjen Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DR Ir Siti Nurbaya MSc di ruang kerjanya kemarin, (3/6).
--------------------

Setjen DPD punya peran penting untuk optimalisasi peran dan fungsi lembaga DPD. Sepenting apa?
Perbaikan sistem kerja di jajaran setjen DPD dapat menyempurnakan pelaksanaan tugas lembaga DPD. Di antaranya melalui penyediaan tenaga ahli, narasumber, data dan informasi tentang persoalan yang dibahas, penyediaan informasi tentang sistem dan prosedur berpemerintahan dalam kaitan dengan persoalan yang sedang dibahas, ataupun informasi lapangan terkait.

Selain itu?
Sesuai Peraturan Tata Tertib lembaga legislatif DPD, setjen misalnya bertugas membantu pimpinan DPD menyiapkan penyusunan rancangan anggaran DPD dan punya fungsi pembinaan dan pelaksanaan perencanaan serta pengawasan internal, administrasi keanggotaan, kepegawaian, ketatausahaan, perlengkapan, kerumahtanggaan, dan keuangan lembaga. Dalam menjalankan tugas dan fungsi, setjen secara struktural berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan lembaga.

Berarti anggota setjen DPD harus profesional dong?
Benar. Itu mutlak. Birokrat profesional itu harus mampu menjaga dan meningkatkan pelayanan legislator; menjamin standar akurasi dan ketepatan yang tinggi dalam advis prosedural; dan mengembangkan keahlian konstitusi dan prosedural, serta kelengkapannya.

Tapi, indikasi yang muncul ke ruang publik saat ini adalah lemahnya keberadaan DPD dan hasil kerja yang dianggap belum optimal?
Sebagai lembaga baru yang tumbuh sebagai konsekuensi konsensus politik, maka format kerja DPD terus berkembang untuk mencapai bentuknya. Sayangnya, pencapaian bentuk ini tidak mudah karena dukungan normatif yang tidak konsisten antara UUD 1945 dan UU implementasinya.

Bukankah lahirnya UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD lebih mempertegas posisi DPD dalam fungsi dan mekanisme terkait tugas konstitusional dalam hal legislasi?
Hingga lahirnya UU No 27 Tahun 2009 pada akhir Agustus 2009, lembaga DPD bekerja dalam ruang normatif yang tidak konsisten itu. Perubahan UU yang mengatur lembaga legislatif tersebut membawa konsekuensi pula untuk berbagai perubahan yang mau tidak mau akan membagi konsentrasi pemikiran dan kerja lembaga, anggota, dan sekretariat jenderal DPD. Akibatnya, indikasi yang muncul ke ruang publik adalah lemahnya keberadaan DPD dan hasil kerja yang dianggap belum optimal.

Kendala lain yang membuat kerja DPD tak bisa maksimal?

Secara totalitas, alat kelengkapan dan kesekretariatan, belum dapat mendukung optimal kegiatan anggota dan lembaga DPD sebagaimana mestinya aktualisasi lembaga legislatif yang harus memenuhi harapan rakyat secara otoritatif dan binding (mengikat).

Bisa dijelaskan?
Di tingkat setjen terdapat kelemahan dukungan staf sekretariat yang harus menyediakan mekanisme kerja, administrasi, informasi dan jaringan kerja dengan unit terkait. Sebagai contoh, Biro Persidangan dengan lima orang eselon III, hanya didukung oleh personel 35 orang. Secara agregat, maka kondisi nyatanya ialah kombinasi antar staf ahli dan staf sekretariat pendukung yang masih jauh dari kebutuhan untuk operasionalnya lembaga legislatif seperti DPD RI. Jumlah pegawai Setjen DPD total 511 orang. Terdiri atas 358 PNS dan 145 tenaga perbantuan. Namun, kita tidak boleh mengeluh. Harus tetap bekerja dan bekerja untuk melayani rakyat.

Lalu, apa yang akan dilakukan Sekjen?
Pertama, reposisi Setjen DPD terkait pembentukan kantor DPD di provinsi, sesuai amanat UU. Ini memberikan dampak kepada penataan fungsi staf dan fungsi lini pada Setjen DPD. Kedua, tata kelola manajemen Setjen DPD RI, terutama antara fungsi staf dan fungsi lini harus secara tegas ditata. Semula fungsi-fungsi lini dan staf berada dalam stu fungsi komando, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan (Sekjen dan Wasekjen). Ke depan, fungsi-fungsi tersebut harus dilakukan pemisahan secara tegas antara fungsi pendukung (staf), fungsi operasional (lini), dan fungsi pengawasan. Ketiga, Melakukan pemisahan atau pembagian dengan melakukan pendelegasian kewenangan kepada satuan unit organisasi baru. Satuan ini bertanggung jawab mengoordinasikan tugas dan fungsi dari Biro atau Pusat.

Bentuk konkretnya apa?
Salah satunya melakukan reorganisasi Setjen DPD. Diawali dengan pemantapan strategi pengembangan tugas dan fungsi dengan dukungan struktur organisasi yang mapan, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Apa harapan Anda?

Langkah-langkah revitalisasi lembaga DPD sebagaimana dituangkan dalam UU mensyaratkan pula langkah-langkah revitalisasi kesekretariatan DPD. Revitalisasi DPD antara lain dengan penguatan kapasitas artikulasi politik anggota DPD dan peningkatan kapasitas alat kelengkapan DPD. Proses revitalisasi DPD dan anggota DPD akan membawa konsekuensi logis pada bertambahnya beban dukungan teknis administratif dan substantif kepada kesekretariatan DPD. Harapannya, sesuai Pasal 227 ayat 4, UU No 27 Tahun 2009 adalah pembentukan kantor DPD RI di provinsi segera terwujud, ada perubahan pola pembahasan legislasi yang menyatakan DPD secara aktif terlibat dalam pembahasan Prolegnas maupun pembahasan RUU di parlemen (Pasal 223-224), serta peningkatan fungsi keterwakilan daerah dan fungsi pengawasan pelaksanaan UU oleh anggota DPD di daerah (Pasal 223). (*)

Pengelolaan Administrasi Makin Kompleks

Format pengelolaan kegiatan administrasi dan keuangan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPD akan semakin kompleks dan ketat. Program reformasi anggaran dicirikan dengan penerapan instrumen-instrumen yang diterapkan pemerintah bagi setiap pengguna anggaran. Langkah penyempurnaan penyelenggaraan pemerintah melalui agenda-agenda program reformasi birokrasi, melibatkan secara langsung penerapannya di setiap unit kerja, termasuk di jajaran Setjen DPD.
’’Setidaknya, ada 12 program dan kebijakan,’’ terang Sekretaris Jenderal DPD RI DR Ir Siti Nurbaya MSc kepada INDOPOS di ruang kerjanya, Kompleks Parlemen, kemarin.
Pertama, kata Siti, agenda reformasi anggaran dengan penerapan anggaran terpadu, kerangka pengeluaran jangka menengah, anggaran berbasis kinerja, dan penerapan klasifikasi fungsi pada belanja pemerintah pusat sesuai standar internasional. ’’Intinya mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan dengan orientasi bahwa ukuran kerja adalah kinerja,’’ jelas birokrat tulen pegiat reformasi birokrasi ini.
Kedua, keharusan kementerian/lembaga memenuhi Inpres 7 Tahun 1999. Yaitu mewajibkan setiap instansi pemerintah dan unit kerja harus menyusun laporan akuntabilitas kinerja sebagai wujud pertanggungjawaban yang dilaporkan media yaitu LAKIP. ’’Evaluasi LAKIP itu analisis yang sistematis, pemberian nilai, atribut, apresiasi dan pengenalan masalah. Juga, pemberian solusi atas masalah yang ditemukan untuk peningkatan kinerja dan akuntabilitas instansi/unit kerja pemerintah,’’ terang perempuan kelahiran Jakarta, 28 Agustus 1956, ini.
Ketiga, prinsip-prinsip good governance pada tataran administrasi pemerintahan dalam program pencegahan korupsi.
Keempat, adanya agenda reformasi birokrasi yang dicanangkan Presiden pada Sidang Kabinet 12 Mei 2010, meliputi skala makro, meso, dan mikro.
Kelima, pelaksanaan evaluasi pelaksanaan Inpres No 5 Tahun 2005 tentang percepatan pemberantasan korupsi harus dipersiapkan dalam bentuk laporan secara reguler.
Keenam, berdasarkan peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat, diberikan dorongan kepada setiap unit kerja untuk memperbaiki proses urusan masing-masing unit kerja.
Ketujuh, memedomani Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Kedelapan, pentingnya mendorong dan mengembangkan program dan wilayah bebas korupsi.
Kesembilan, mengembangkan pendekatan penanganan pengadaan barang dan jasa untuk terbangunnya good governance.
Kesepuluh, KPK mendorong adanya Self Assessment untuk mengukur inisiatif pencegahan korupsi yang dilakukan instansi.
Kesebelas, Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (2010-2025) dengan muatan peningkatan efektivitas reformasi birokrasi di sektor publik di pusat dan daerah.
Keduabelas, penataan arsip sebagai rekaman perubahan kelembagaan dan proses establishment DPD serta produk-produk DPD sebagai kebijakan yang berpijak kepada daerah. ’’Itu semua menjadi pertimbangan dalam reorganisasi serta pengembangan organisasi Setjen DPD dan organisasi DPD di daerah,’’ pungkas Siti Nurbaya. (*)

INDOPOS, 3 Juni 2010
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Pinggiran - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template