Headlines News :
Home » » Problem Birokrasi Pengadilan Tipikor

Problem Birokrasi Pengadilan Tipikor

Written By Unknown on Minggu, 19 April 2009 | 17.57

GAZEBO
www.rakyatmerdeka.co.id
Senin, 09 Maret 2009, 18:57:01 WIB

Oleh
ARIYANTO

UU pengadilan tindak pidana korupsi (UU Tipikor) sangat dielu-elukan sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama yang pro pemberantasan korupsi.

Sebab, pengadilan tipikor diharapkan dapat memberikan putusan-putusan jauh lebih berat bagi pelaku korupsi dibandingkan pengadilan umum. Selama ini, banyak pengadilan umum yang memberikan hukuman satu tahun penjara, bahkan vonis bebas bagi koruptor.

Karena itu, masyarakat antikorupsi mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) pengadilan Tipikor sebelum habis masa jabatannya.

Menurut jadwal, masa sidang DPR periode 2004–2009 akan habis pada Maret tahun ini. Jika belum bisa diselesaikan dalam kurun waktu itu, nasib pemberantasan korupsi dikhawatirkan terseok-seok.

Desakan pengesahan RUU Tipikor ini berhembus sama kencangnya dengan wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membentuk KPK perwakilan di daerah. Semangatnya juga sama, publik kurang begitu mempercayai institusi kepolisian dan kejaksaan untuk menangani kasus-kasus korupsi, sebagaimana kurang gigihnya pengadilan umum di dalam mengatasi korupsi.

Berdasarkan aspek legal, keinginan membentuk pengadilan tipikor maupun mendirikan perwakilan KPK di daerah sebenarnya diperkenankan. Pasal 19, ayat 2 Undang Undang 30/2002 tentang KPK menyebutkan, KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.

Sedangkan dasar pembentukan Pengadilan Tipikor terdapat dalam Pasal 53 UU tersebut, dan sesuai putusan uji materiil 2006 bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) men-deadline tiga tahun (hingga 18 Desember 2009) kepada pemerintah dan DPR, untuk menyusun UU Pengadilan Tipikor yang baru.

Dalam draf revisi UU Pengadilan Tipikor, pemerintah berencana menghapus Pengadilan Tipikor dan meniadakan hakim ad hoc untuk menghindari dualisme peradilan.

Tumpang Tindih

Hanya saja, jika pengadilan tipikor dan perwakilan KPK di daerah jadi dibentuk, maka birokrasi pemberantasan korupsi di Indonesia bisa semakin rumit, tidak efektif dan efisien. Pengadilan umum dan pengadilan tipikor bisa saling ’’berebut kue’’.

Kewenangan KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian juga tumpang tindih. Apalagi jika masing-masing institusi mempunyai ego sektoral bahwa dirinya paling berhak menangani permasalahan tersebut, walaupun bisa saja itu dipahami sebaliknya bahwa makin banyak insitusi yang menangani korupsi maka semakin baik pula kondisi negeri ini.

Dalam hal penuntutan, misalnya, bisa terjadi tumpang tindih kewenangan. Sebab, dalam Pasal 6 huruf (c) UU 30/2002 tentang KPK, disebutkan bahwa KPK memiliki tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Dengan perkataan lain, KPK punya wewenang khusus untuk menuntut sesuai amanat undang-undang. Padahal, di UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI, yang melakukan penuntutan umum adalah kejaksaan negeri, kejaksaan tinggi, dan Kejaksaan Agung di bawah koordinasi Jaksa Agung. Jadi, jika RUU ini jadi disahkan, maka bisa ada dua jaksa, jaksa dari KPK dan jaksa dari kejaksaan.

Selain ruwet dan tumpang tindih kewenangan, hal ini juga mengakibatkan inflasi jumlah pegawai. Berapa banyak hakim yang dibutuhkan untuk mengisi pengadilan tipikor, terlebih lagi jika memiliki perwakilan di daerah. Dan, berapa pegawai yang akan direkrut jika KPK membuka perwakilannya di masing-masing provinsi atau bahkan di daerah. Bayangkan, berapa banyak personel yang dibutuhkan. Itu pun belum tentu jaminan bahwa yang direkrut itu mempunyai integritas bagus dan kompetensi memadai.

Juga tak kalah mengerikan adalah berapa besar anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk menggaji mereka. Ini pemborosan dan bisa membangkrutkan negara. Ini belum termasuk jika mereka minta gaji dan remunerasinya dinaikkan dengan alasan pekerjaan mereka sangat berat dan rentan suap.

Hal itu belum termasuk pula biaya pembangunan gedung maupun sarana dan prasarana penunjang lainnya. Untuk membayar remunerasi pegawai di departemen yang dijadikan pilot project reformasi birokrasi saja, pemerintah ’’ngos-ngosan’’. Sekali lagi, apabila ini yang terjadi, maka secara struktur birokrasi kita akan seperti dinosaurus bengkak. Makannya banyak, tapi tidak gesit.

Memperbaiki Citra

Karena itu, meski di dalam UU KPK diperbolehkan, bukan berarti kita harus membentuk pengadilan tipikor dan perwakilan KPK di daerah. Serahkan saja segala perkara korupsi serahkan saja kepada pengadilan umum.

Kalau sebagian hakim di pengadilan umum dianggap tidak memiliki integritas dan kapabilitas, kenapa persoalannya tidak diarahkan kepada hal tersebut. Memperbaiki citra pengadilan umum, mencopot hakim nakal dan menggantinya dengan hakim lebih baik seperti hakim di pengadilan tipikor misalnya.

Logikanya seharusnya seperti ini. Bukan dengan membuat institusi baru ketika institusi lama dianggap tidak baik. Apakah kita akan membuat KPK dan pengadilan tipikor tandingan jika kedua tubuh institusi itu dikemudian hari juga digerogoti penyakit korupsi?

Begitu pula halnya dengan keberadaan KPK. Untuk sementara ini, cukuplah KPK ada di pusat saja dan terus bekerja keras mencegah dan memberantas korupsi. KPK harus terus menjaga spiritnya jangan sampai lemah, agar institusi kepolisian dan kejaksaan yang dianggap kurang baik tadi terinspirasi untuk memperbaiki diri dengan menjalankan agenda reformasi internal mereka sebagai aparat penegak hukum yang profesional, jujur, dan berintegritas.

Jangan sampai kasus jaksa-jaksa nakal terulang kembali. Cukup sudah model-model jaksa seperti Urip Tri Gunawan dan Ratmadi Saptondo yang mencoreng moreng wajah kejaksaan. Urip adalah Jaksa Penyidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tertangkap basah melakukan ancaman dan pemerasan. Sedangkan Ratmadi adalah Kepala Kejaksaan Negeri Tilamuta, Boalemo, Gorontalo, yang mengancam dan memeras pejabat daerah Gorontalo sekaligus menghina satuan penegak hukum lainnya.

Jika jaksa nakal diberangus dan kalau dalam perjalanannya nanti ternyata insitusi Polri dan Kejaksaan sudah mampu mereformasi dirinya (dan pasti bisa baik jika sistemnya dibenahi), maka keberadaan KPK bisa ditinjau kembali. Sebab, KPK sudah berhasil menjalankan perannya sebagai trigger mechanism.

Seperti diketahui, KPK memang didesain untuk mendorong dan memicu lahirnya semangat dan tradisi baru dalam penegakan hukum, khususnya bagi aparat penegak hukum konvensional. Dan, salah satu latar belakang berdirinya KPK karena aparat penegak hukum konvensional gagal mengemban amanat konstitusi, yakni memberantas korupsi.

Dengan demikian, maka institusi KPK sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi. Tugas pemberantasan korupsi seyogyanya dikembalikan kepada penegak hukum konvensional. Tak perlu lagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Cukup diserahkan kepada pengadilan umum. Ini bukan sebagai upaya penyerangan balik terhadap upaya pemberantasan korupsi yang lagi getol-getolnya dilakukan. Ini semata-mata untuk membuat birokrasi kita semakin sederhana, ramping, lebih lincah, dan menghemat anggaran negara. Anggaran yang ada bisa dialokasikan untuk kepentingan lain demi sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

Karena itu, MK harus segera melakukan judicial review kembali terhadap putusan uji materiil 2006 bahwa MK men-deadline tiga tahun (hingga 18 Desember 2009) kepada pemerintah dan DPR untuk menyusun UU Pengadilan Tipikor baru. Jangan tergesa-gesa memutuskan sesuatu untuk mengesahkan RUU Tipikor. Lebih baik kita memperbaiki saja lembaga peradilan yang ada dengan menata kembali sistem dan sumber daya manusianya. (*)

Penulis adalah pemerhati masalah birokrasi. Alumnus S-2 Ilmu Filsafat UI, Depok
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Pinggiran - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template