Headlines News :
Home » » Komnas HAM Lawan Arus Besar

Komnas HAM Lawan Arus Besar

Written By Unknown on Kamis, 25 Oktober 2012 | 04.31

Oleh

Ariyanto

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sepertinya hendak menancapkan tonggak sejarah baru dalam pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia. Setidaknya, itu terlihat dari lolosnya dua perwakilan waria dalam bursa pencalonan anggota Komnas HAM 2007-2012. Mereka adalah Yulianus Rettoblaut (Yuli) dan Nandy Iskandar (Nancy). Sangat bersejarah karena ini pertamakalinya terjadi di lembaga tersebut. Pada 13 Februari lalu, ketua panitia seleksi anggota Komnas HAM Soetandyo Wigjnosoebroto memang mengumumkan 155 calon yang lolos seleksi administrasi. Meski baru tahap pertama, sebagian pemerhati HAM menilai itu pertanda ada perubahan cukup signifikan di dalam proses penilaian. Barangkali kita juga berpikir bahwa lolosnya Yuli dan Nancy itu menunjukkan waria ternyata memiliki kapasitas sama dan mampu bersaing dengan masyarakat lainnya dalam bidang pekerjaan di sektor formal. Namun, apakah yang dilakukan Komnas HAM itu benar-benar ingin memperjuangkan nasib kelompok marginal itu? Dengan tidak melakukan diskriminasi dan meloloskan waria dalam tahap seleksi administrasi memang sungguh menggembirakan. ’’Kita hanya menjalankan ketentuan yang berlaku. Dan, keduanya (Yuli dan Nancy) sudah memenuhi kriteria penilaian pada tahap pertama. Tapi kan masih banyak lagi tahapan-tahapan lainnya seperti uji publik,’’ jelas Prof DR Musdah Mulia, panitia seleksi anggota Komnas HAM 2007-2012 dalam jumpa pers di Kantor Arus Pelangi, yang didampingi Nency dan Yuli, di Jakarta (Kamis, 15 Februari 2007). Intinya, kata Musdah, dalam proses seleksi ini tidak ada agenda tersembunyi (hidden agenda) atau kepentingan politik tertentu. Semua akan dilakukan secara transparan. ’’Publik bisa memberikan penilaian langsung. Kita juga mengiklankan para kandidat itu di media massa,’’ kata wanita yang juga guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Lalu, mungkinkah mereka melewati tahapan selanjutnya jika masyarakat Indonesia yang agamis dan mayoritas menganut heteroseksual (menyukai lawan jenis) itu dapat menerima waria? Jika melihat masih kentalnya stigmatisasi negatif dan marginalisasi terhadap waria, rasa-rasanya tidak mungkin ’’gender ketiga’’ itu lolos dalam tahap uji publik. Konstruksi heteronormativitas yang selama ini diterima masyarakat, baik melalui budaya, media, maupun moral agama, masih sangat kokoh. Ideologi yang menyatakan bahwa heteroseksual sebagai satu-satunya orientasi seksual yang paling sehat, alamiah, dan normal diimani betul-betul. ’’Ya, mengubah itu (stigma negatif bahwa waria sumber penyakit menular dan tidak waras) memang sangat sulit,’’ ungkap Musdah. Karena itu, panitia seleksi seharusnya mempertahankan asas keadilan, kesetaraan dan orientasi seksual minoritas dalam tahap selanjutnya. Yaitu dengan menjalankan amanat Pasal 5 ayat 3 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Mereka yang termasuk dalam kelompok masyarakat rentan harus dilebihkan pemenuhan haknya oleh pemerintah. Kelompok-kelompok rentan seperti waria dan penyandang cacat seharusnya diakomodasi Komnas HAM. Tetap diseleksi, tapi ada perlakuan khusus karena sejak kecil sudah tidak mendapatkan keadilan kasih sayang dan kesetaraan kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan maupun pekerjaan. ’’Kami berharap kepada pemerintah agar diberikan kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya seperti kesempatan kerja di sektor formal,’’ harap Yuli. ’’Kalau kita diberi kesempatan sama, kita bersama-sama akan membangun bangsa ini dalam penegakan HAM,’’ tukas Nancy. Semoga Komnas HAM benar-benar bisa menjadi lokomotif pemenuhan dan perlindungan HAM di Tanah Air. (*)

*Terbit di Indo Pos, 16 Februari 2007
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Pinggiran - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template