Headlines News :
Home » » Kelaparan dan Hilangnya Entitlement

Kelaparan dan Hilangnya Entitlement

Written By Unknown on Kamis, 25 Oktober 2012 | 04.31

Oleh
Ariyanto

Untuk mengurangi penderitaan korban bencana banjir awal 2002, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menjanjikan bantuan pascabanjir. Bantuan diberikan kepada 265 kelurahan yang waktu itu jadi korban banjir. Bantuan dikemas dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK). Menurut rencana, masing-masing kelurahan menerima Rp 250 juta. Tujuannya, memulihkan sarana dan prasarana kerja korban banjir yang rusak atau hilang akibat banjir.
Nah, di tengah kontroversi dan ketidakpuasan masyarakat mengenai cukup atau tidaknya jumlah bantuan bagi korban banjir dan mekanisme distribusinya, program semacam PPMK sebenarnya dapat dikemas secara serius dengan visi komprehensif.
Gagasan tentang pemulihan sarana dan prasarana kerja dapat dikaitkan dengan pemikiran Amartya Sen tentang entitlement. Entitlement merupakan legitimasi dan kepemilikan seseorang atas seperangkat komoditas yang dapat diperolehnya (the commodities over which she can establish her ownership and command).
Dalam buku Development as Freedom (1999: 163), Sen mengisahkan kasus kelaparan di China (1958-1961) dan Irlandia (1840-an). Dia berusaha membuktikan, kelaparan bukan pertama-tama soal berkurangnya ketersediaan makanan (food availability decline) akibat ketidakseimbangan antara jumlah makanan dan laju pertumbuhan penduduk. Menurut Sen, kelaparan adalah masalah cacat atau hilangnya entitlement (entitlement failures) yang dapat menjerumuskan orang pada kelaparan.
Hilangnya entitlement yang mengakibatkan kelaparan dapat disebabkan banyak hal. Bagi orang yang memproduksi makanan sendiri, kelaparan dapat dialami bila harga produksi pangan yang dihasilkan jatuh akibat ketidakstabilan tingkat jual-beli antarkomoditas dalam krisis ekonomi. Jatuhnya harga daging terhadap makanan pokok (yang kandungan kalorinya lebih rendah) mengakibatkan para penggembala ternak di kawasan Sahel (Afrika) menderita kelaparan tahun 1973.
Bagi orang yang tidak memproduksi makanan sendiri, kemampuan mendapatkan makanan ditentukan beberapa hal seperti harga makanan, tingkat belanja kebutuhan nonpangan, stabilitas harga komoditas, bursa tenaga kerja, dan tingkat pendapatan. Meski berlimpah makanan, orang yang mengalami PHK dan tidak memiliki asuransi pengangguran (unemployment insurance), dapat mengalami kelaparan. Contohnya adalah kelaparan di Banglades pada 1974.
Bencana itu terjadi saat ketersediaan pangan perkapita menunjukkan angka tertinggi pada periode 1971-1976. Kelaparan dimulai saat terjadi gelombang pengangguran besar-besaran akibat bencana banjir, yang mempengaruhi tingkat produksi pangan beberapa bulan sesudahnya. Bencana banjir di sejumlah kawasan di Indonesia menjadi pemicu hilangnya entitlement para korban banjir. Sebagian korban banjir menganggur karena lapangan pekerjaan mereka lumpuh akibat banjir.
Karena itu, daya beli mereka terhadap komoditas yang vital merosot. Mereka mulai kehilangan entitlement yang bertumpu pada aktualisasi tenaga kerja mereka (own-labour entitlement). Sebagian korban banjir menganggur karena alat-alat kerja mereka rusak atau hilang akibat banjir. Kegiatan produksi dan jual-beli mereka terganggu, bahkan terputus.
Mereka kehilangan entitlement yang berdasar pada aktivitas jual-beli (trade-based entitlement) dan entitlement yang berdasar kegiatan produksi (production-based entitlement). Banyak pula korban banjir yang mengalami kehilangan entitlement yang berupa rumah dan harta benda berharga (inheritence entitlement). Yang pasti, berbagai kerugian yang diderita mengancam entitlement korban banjir atas perangkat komoditas krusial, seperti makanan bergizi, tempat tinggal layak, pekerjaan, dan layanan kesehatan.
Entitlement atau kepemilikan atas komoditas yang dipandang berharga, harus diusahakan.
Dalam suatu musibah, korban sebaiknya tidak ditempatkan sebagai penerima pasif (passive recipient) paket bantuan. Korban harus menjadi pelaku aktif (active agent) yang bertanggung jawab atas hidupnya dan ikut mengatasi musibah. ’’Who better to rely on than initiative and effort, and even self-respect?’’ (Sen, 1999: 283).
Begitu pula dengan persoalan banjir yang terjadi di Indonesia. Para korban harus menjadi pelaku aktif. Bantuan bagi korban banjir tidak dapat menggantikan tanggung jawab korban atas hidupnya sendiri. Bagaimana korban dapat menjadi pelaku aktif? Sen mencatat, kelaparan di beberapa kawasan seperti India, Botswana, dan Zimbabwe dapat diatasi dengan memulihkan entitlement korban kelaparan. Pemerintah di negara-negara itu menciptakan lapangan kerja dengan membuat aksi publik (public action) berupa proyek padat karya bagi para korban kelaparan.
Menurut Sen, perhitungan biaya bagi aksi semacam itu tidak teramat besar, bahkan bagi negara yang miskin sekalipun. Bencana kelaparan tidak akan menimpa lebih dari 10 persen jumlah penduduk. Total pendapatan yang akan diterima korban dalam aksi publik itu kurang lebih sebesar tiga persen dari GNP. Tingkat konsumsi makanan mereka pun tidak lebih besar dari empat-lima persen dari tingkat konsumsi nasional. Aksi publik serupa dilaksanakan di Maharashtra (negara bagian India).
Pada 1973, lima juta pekerjaan temporer diciptakan sebagai kompensasi hilangnya pekerjaan akibat musim kemarau yang panjang. Hasilnya luar biasa. Tidak ada kenaikan angka kematian yang signifikan. Tidak ada pelonjakan jumlah orang yang menderita kelaparan, meski terjadi penurunan produksi makanan yang drastis.
Penciptaan entitlement lewat jalur pemulihan pendapatan korban perlu dilengkapi pengadaaan jaminan pengaman sosial (social security).
Jaminan itu merupakan bagian entitlement korban karena akan memengaruhi kepemilikan korban atas komoditas yang dipandang penting saat bencana. Contoh jaminan itu adalah asuransi bagi pengangguran (unemployment insurance), bantuan pemulihan kelaparan (famine relief), dan penciptaan proyek padat karya (emergency public employment) untuk memulihkan pendapatan korban.
Sebenarnya, di Indonesia, program Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau social safety nett pernah popular saat krisis ekonomi meledak pada 1997. Kenyataannya, pelaksanaan program JPS mendapat sorotan tajam publik karena tidak transparan dan rentan praktik korupsi. Selain itu, JPS tidak diletakkan dalam kerangka komitmen sosial yang mampu mengantisipasi kesulitan yang dijumpai saat terjadi bencana. Ketika banjir melanda, terbukti pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah, tidak memiliki kesiapan programatis berupa jaminan pengaman sosial.
Sen mengidealkan, penyelenggaraan program jaminan pengaman sosial maupun penataan sosial secara menyeluruh, merupakan hasil kerja jaringan (networking) antara pemerintah dan institusi-institusi lain, seperti institusi pasar dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pemulihan entitlement juga membutuhkan kondisi pasar yang makin kondusif bagi korban agar dapat mulai mengadakan kegiatan jual-beli seperti sedia kala. Gagasan networking berkait dengan konsep Sen tentang ’’pembangunan sebagai kebebasan’’. Menurut dia, pembangunan adalah proses perluasan kebebasan nyata yang dapat dialami individu. Konsep itu mengimplikasikan adanya komitmen sosial yang mampu mendukung proses perluasan kebebasan. Dalam hal ini, aneka insitusi yang ada memegang peran penting saat merumuskan komitmen sosial itu. Networking antarinstitusi menjadi krusial karena peluang dan prospek yang dimiliki individu amat bergantung pada institusi-institusi yang ada dan bagaimana institusi itu berfungsi.
Gagasan Sen tentang networking dalam mengantisipasi dan menangani musibah ternyata masih sulit untuk dibayangkan keberadaannya di Indonesia. Saat banjir datang, pemerintah belum memiliki sketsa komitmen sosial dan aksi publik yang antisipatif. Tidaklah berlebihan jika ada rencana gugatan class action dari masyarakat dan LSM yang secara eksplisit menunjuk adanya tindak pengabaian (omission) Pemprov DKI Jakarta terhadap prediksi bencana banjir.
Sen mengingatkan, tindak pengabaian semacam itulah yang telah mengakibatkan kematian sekitar 30 juta orang China akibat bencana kelaparan selama masa Lompatan Jauh ke Depan (1958-1961). Kekeliruan kebijakan semasa pemerintahan Mao Zedong tidak pernah mendapat kontrol media massa dan partai oposisi. Ironisnya, para pengurus cabang partai menyembunyikan laporan tentang kelaparan di daerah, demi mencari muka di hadapan ketua partai di Beijing. Karena itu, demokrasi memiliki peran protektif (protective role) bagi masyarakat untuk mencegah bencana. Sen yakin, kelaparan substansial tidak akan terjadi di negara demokratis.
Belajar dari gagasan Sen, menjadi jelas, kini pemerintah dan institusi-institusi yang relevan perlu menciptakan mekanisme pemulihan entitlement yang memadai. Sementara itu, adanya komitmen sosial yang komprehensif dan jaminan bagi pengembangan demokrasi merupakan tuntutan visioner yang tidak dapat diabaikan lagi.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Pinggiran - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template