Headlines News :
Home » » Negeri Para Tersandera

Negeri Para Tersandera

Written By Unknown on Selasa, 26 Juli 2011 | 13.43

Oleh ARIYANTO

Entah kenapa saya begitu sangat tertarik mendengarkan khutbah Jumat yang disampaikan Prof DR Moh Mahfud MD di Graha Pena INDOPOS kemarin. Padahal, biasanya, hampir setiap khatib ceramah, saya selalu tertidur. Minimal setengah tidur. Bangun-bangun ketika iqomah (tanda salat hendak dimulai).
Dari segi isi, saya pikir tak jauh berbeda. Yaitu, mengajak orang menjadi bertakwa. Janji Tuhan, orang bertakwa itu akan diberikan jalan keluar dan didatangkan rizki dari arah tak disangka-sangka. Wa man yattaqillaha yaj’allahu makhraja wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib. Surat Ath-Thalaq ayat 2-3 ini sudah ribuan kali saya dengar.
Namun, yang disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini terasa berbeda. Ayat tentang takwa ini terasa begitu ’’hidup’’. Sebab, penafsirannya diarahkan kepada implementasi takwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan disampaikan oleh orang yang relatif bersih dari suap dan korupsi.
’’Apa itu takwa? Takwa itu hati-hati. Ibarat orang berjalan di tepi jurang pada malam hari, kalau tidak berhati-hati pasti terperosok. Jadi, orang hidup itu harus berhati-hati. Kalau tidak, pasti tidak selamat,’’ kata Mahfud.
Sudah banyak contohnya bahwa orang yang berbuat menyimpang pasti berakibat buruk. Ini bisa dilihat dari kisah orang terdahulu maupun era sekarang. ’’Fan dzuru kaifa kaan aqibatul mukazibin. Dan lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan,’’ ujar guru besar hukum tata negara ini menyitir Alquran Surat An Nahl ayat 36.
Mahfud melanjutkan, ayat ini mengajarkan agar seseorang belajar dari sejarah. Supaya tidak terperosok ke jurang sama seperti orang-orang terdahulu. ’’Jadi, kalau kita ingin enak, berhati-hatilah dalam hidup. Harus hati-hati kita mendapatkan uang dari mana? Hasil dari korupsi tidak? Itu uang suap tidak? Sebab, sekali kita berbuat salah, maka kita akan tersandera, akan tercampakkan, akan dihinakan,’’ tegas pria kelahiran Madura ini.
Saya renungkan betul pernyataan Mahfud ini. Iya ya, boleh jadi proses pemberantasan korupsi di Indonesia ini terkesan sangat lambat karena aparat penegak hukum tersandera korupsi. Kalau korupsi diberantas, maka itu menjadi bumerang bagi mereka sendiri yang juga ikut menikmati uang korupsi.
Sekarang ini, kuasa korupsi sudah menyebar ke mana-mana. Bak kanker ganas, korupsi ini sudah menjalar ke seluruh tubuh bangsa Indonesia. Kian hari kian berbahaya. Tinggal menunggu detik-detik kematian suatu bangsa. Bayangkan saja, kanker itu sudah menyerang setiap lini kehidupan. Aparatur penegak hukum banyak terseret korupsi. Polisi, jaksa, hingga hakim.
Logika awamnya, bagaimana mau menegakkan hukum jika aparatnya terjerat kasus korupsi. Jeruk kok makan jeruk! Bagaimana bisa menyapu koruptor jika sapunya sendiri kotor?.
Namun, yang menjadi masalah adalah masyarakat juga punya andil terhadap kotornya sapu ini. Sebab, para ’’tukang sapu’’ itu tidak bisa membersihkan sampah karena masyarakat itu sendiri yang mengotorinya dengan menyuap aparat hukum. Masyarakatnya sendiri kemudian beralasan kenapa aparatnya mau disuap? Akhirnya tidak jelas, seperti pertanyaan dulu mana telur apa ayam? Keduanya sudah terlibat dalam jaring-jaring kuasa korupsi.
Perselingkuhan antara niat buruk dan kesempatan yang menghasilkan anak haram bernama korupsi ini tidak hanya dilakukan masyarakat dengan aparat penegak hukum atau lembaga yudikatif. Tapi juga dilakukan lembaga legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, korupsi sudah menghegemoni. Kita secara tidak sadar turut terlibat di dalamnya. Kita pun kesulitan darimana membongkar korupsi ini. Sebab, kita semua tersandera korupsi. Kita bagian dari tubuh korupsi.
Saya tidak tahu kenapa Nazaruddin yang diduga terlibat suap kasus pembangunan wisma atlet serta proyek di kemendiknas dan kemenkes ini kok belum diproses secara hukum. Padahal, sudah satu bulan ini bendahara umum Partai Demokrat tersebut kabur ke luar negeri. Dia juga sudah dua kali mangkir dari panggilan KPK. Kenapa KPK tidak segera menjemput paksa? Apakah lembaga ini sedang tersandera kekuatan politik tertentu? Ah, mudah-mudahan KPK bukan Komisi Pelindung Kepentingan, tapi benar-benar Komisi Pemberantasan Korupsi.
Huh, memang, menyerukan ganyang koruptor hidup di negeri para tersandera ini memang tak mudah. Kecuali orang-orang yang sedang tidak tersandera. Sebab, mereka tak punya beban ketika berbicara pemberantasan korupsi karena tidak sedang berada dalam jaring-jaring kuasa korupsi. Mereka tidak berada dalam–meminjam istilahnya Pierre Bourdieu–habitusnya para koruptor.
Mengapa Mahfud MD begitu ringan tanpa beban ketika menyatakan ingin bersih-bersih di lembaga yang dipimpinnya? Dia juga telah membongkar dugaan pemalsuan surat MK yang diduga dilakukan Andi Nurpati? Menantang mantan hakim MK Arsyad Sanusi yang akan membongkar bobrok di MK? Jawabannya karena mungkin Mahfud tidak tersandera di negeri para tersandera. Jadi, sesuai pesan Kiai Mahfud, mari bertakwa! Insya Allah selamat.

INDOPOS, 24 Juni 2011
Share this article :

1 komentar:

  1. Siapakah yang mampu membebaskan negeri ini dari sandera? Sementara sapu yang fungsinya untuk memberihkan kok ya malah ikut2an kotor.
    Sampai kapan kita harus menunggu datangnya sapu yang bersih untuk memberisihkan kotoran.

    Btw, saya suka ungkapan Anda yang berbunyi, "Perselingkuhan antara niat buruk dan kesempatan yang menghasilkan anak haram yang bernama korupsi". Keren. Itulah yang terjadi di negeri ini.

    Sarannya:
    Lain kali nulis paragraf2nya diberi jarak, ya, biar gak lelah membacanya. Kalau tulisan Anda gak bagus, mungkin dah saya tinggalkan di sepertiga tulisan bacanya. :D

    :) Salam,

    Mochammad
    http://mochammad4s.wordpress.com
    http://piguranyapakuban.deviantart.com

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Pinggiran - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template