Headlines News :
Home » » Yuniyanti Chuzaifah, 20 Tahun Bergerak di Isu Perempuan yang Kini Ketua Komnas Perempuan

Yuniyanti Chuzaifah, 20 Tahun Bergerak di Isu Perempuan yang Kini Ketua Komnas Perempuan

Written By Unknown on Minggu, 07 Maret 2010 | 17.04

Oleh
ARIYANTO


Kesal, 5 Kali Ganti Presiden Buruh Migran Tak Ada Penyelesaian

Sudah dua puluh tahun Yuniyanti Chuzaifah berjuang membela nasib kaum perempuan. Kini, Yuni terpilih menjadi Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) periode 2010–2014. Bagaimana sosoknya?
Yuniyanti Chuzaifah atau biasa disapa Yuni, terlihat membereskan catatannya usai menggelar jumpa pers Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan di Kantor Komnas Perempuan, Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin siang.
’’Maaf ya saya tidak bisa (wawancara) di rumah. Rumah saya di Sawangan (perbatasan Depok-Bogor, Jawa Barat). Masnya kejauhan nanti. Gimana, kita wawancara di sini aja ya,’’ kata Yuni dalam wawancara khusus dengan INDOPOS mengawali pembicaraan.
’’Selamat ya Mbak terpilih menjadi Ketua Komnas Perempuan. Prediksi saya waktu itu berarti benar,’’ tutur INDOPOS kepada Yuni. ’’Iya nih, Masnya ternyata bisa membaca seseorang. Mirip Mama Lauren saja,’’ kata Yuni tertawa.
Dalam acara Laporan Pertanggungjawaban Publik Komisi Paripurna Komnas Perempuan Periode 2007–2008 di Hotel Sahid Jakarta, 9 Desember 2009, saya yang duduknya di samping Yuni kala itu memprediksi bahwa Yuni bakal memimpin Komnas Perempuan periode mendatang.
Ketika ditanya apakah tidak bosan mengurusi masalah perempuan selama dua puluh tahun, Yuni menggelengkan kepala. Namun, diakui dia, terkadang ketika hasil rekomendasi yang dikirimkan ke Pemerintah tidak ditindaklanjuti, terkadang membuanya bosan juga. ’’Soal buruh migran, misalnya. Lima kali ganti presiden tapi tidak ada penyelesaian,’’ ungkap perempuan kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 4 Juni 1969, ini kesal.
Tapi soal perjuangan, perempuan yang sedang menyelesaikan S-3 Bidang Antropologi Gender dan Migrasi, Amsterdam University, ini tidak pernah surut dan membosankan. Sebab, menurut dia, bekerja di isu perempuan itu sangat menyenangkan. Apalagi dengan terjun di lapangan, banyak menambah pengetahuan.
’’Bagi saya, kerja di NGO, bekerja dengan komunitas, itu sangat dinamis. Bukunya selalu berubah setiap detik, karena bukunya adalah kehidupan. Kalau sekolah itu monoton, bisa bikin bosan. Tapi kalau sudah penelitian, saya senang lagi,’’ tutur ibu dari Vikra, 16, dan Vinda, 14, ini.
Yuni memang sangat menyukai dunia pergerakan perempuan. Banyak organisasi yang digeluti. Di antaranya pernah bergabung dengan LSM Solidaritas Perempuan, Pendiri Koalisi Perempuan Indonesia, penggagas Suara Ibu Peduli bersama Gadis Arivia dan Karlina Supeli, Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia, dan Kelompok Perempuan untuk Kebebasan Pers.
Sejak 2001, bergabung dengan lembaga internasional Common Ground Indonesia sebagai konsultan dan program manajer untuk perempuan di wilayah konflik di beberapa wilayah (Papua, Kalimantan, Madura, dan Jakarta). Juga menjadi Gender Advisor/Konsultan untuk Kerjasama Mc Gill University Canada dan beberapa perguruan tinggi Islam.
Namun, paling berkesan, adalah masa perjuangan 1990 hingga 1998. ’’Itu merupakan awal-awal tentang gerakan perempuan di Indonesia. Saya mulai belajar tentang isu-isu perempuan miskin dan buruh di indutsri, buruh-buruh migran, dan isu perempuan marginal,’’ terang perempuan yang menulis skripsi tentang Buruh Migran dan Islam di Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1995).
Menjadi aktivis perempuan yang kerap menentang kebijakan diskriminatif di era Orde Baru butuh nyali besar. Sebab, tak jarang para aktivis mendapat perlakuan tak menyenangkan dan bahkan ’’dilenyapkan’’. ’’Saya juga alami teror dan intimidasi, tapi itu saya anggap biasa,’’ ujar penyuka film humanis dan jenaka yang dimainkan aktor berwatak.
Menjadi aktivis, Ketua Komnas Perempuan, dan menempuh studi tentu sangat sibuk. Bagaimana dengan keluarga? ’’Keluarga bagi saya tetap nomor satu. Sebisa mungkin saya meluangkan waktu. Ketika studi keluar negeri, saya mengajak keluarga,’’ ungap dia.
Diakuinya, aktivitas yang padat membuat anak-anak pernah komplain. Tapi setelah dipahamkan dan diajak ke dunianya, anak-anak bisa mengerti. ’’Bagi saya, Vikra dan Vinda adalah sang penumpu, penumbuh dan pemelihara hidupku,’’ kata dia.
Begitu berharganya seorang anak,Yuni menganggap anak sebagai ’’kepala keluarganya’’. Segala keputusan tidak diputuskan suami, seperti keluarga umumnya. Anak-anaklah yang memutuskan. Kalau anak-anak oke kita oke juga,’’ terang alumnus S-2 dari Fakultas Teologi dan Seni Bidang Islamologi, Leiden University (2001). (*)

INDOPOS, 8 Maret 2010
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Pinggiran - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template