Headlines News :
Home » » Korban Tradisi Kawin Lari yang Jadi Aktivis Perempuan

Korban Tradisi Kawin Lari yang Jadi Aktivis Perempuan

Written By Unknown on Sabtu, 12 Desember 2009 | 18.42

Oleh
ARIYANTO

Bagi masyarakat Lombok, ’’menculik’’ anak gadis untuk dinikahi dianggap lebih kesatria dibandingkan meminta kepada orang tuanya. Tapi praktiknya, perempuan sering kali menjadi korban. Setelah diculik, mereka wajib menikah. Inilah yang dialami Beauty Erawati SH MH, Direktur Eksekutif LBH Apik, NTB. Bagaimana kisahnya?
ANDA laki-laki Lombok dan ingin nikah? Culiklah anak gadis! Bawa lari tanpa sepengetahuan keluarganya. Bila tiga hari tiga malam tidak ada kabar, maka gadis itu dianggap telah nikah.Sebagian besar masyarakat suku Sasak, penduduk asli warga Pulau Lombok, NTB, melestarikan tradisi unik ini. Untuk urusan peijodohan. suku ini menyerahkan semuanya ke anak.
Jika keduanya saling suka, tak perlu menunggu lama untuk nikah. Culik saja anak gadis itu, pasti nikah! Menculik anak gadis lebih diterima keluarganya. Proses pernikahan dengan cara dicuri dikenal dengan istilah merarik (melarikan).
Namun tak boleh sembarangan menculik gadis dan melarikannya. Ada aturan main. Saat menculik, harus membawa beberapa kerabat atau teman. Untuk saksi dan pengiring prosesi. Gadis itu tidak boleh dibawa langsung ke rumah lelaki. Dititipkan dulu ke kerabat laki-laki. Setelah sehari menginap, pihak kerabat laki-laki mengirim utusan ke pihak keluarga perempuan. Memberitahukan bahwa anak gadisnya diculik dan berada di satu tempat. Istilahnya nyelabar. Rombongan nyelabar lebih dari 5 orang dan wajib mengenakan pakaian adat. Rombongan tidak boleh langsung datang ke keluarga perempuan. Minta izin Kliang atau tetua adat setempat dulu.
Teorinya memang demikian. Tapi praktiknya sering kali berbeda. Bahkan perempuan pada posisi terdiskriminasikan. Inilah yang dialami Beauty Erawati. ’’Saya merasa ’’dijebak’’ dan ’’ditipu’’. Ketika dibawa ke Lombok, ternyata di sana sudah disiapkan prosesi pernikahan. Saya tidak siap, masih ingin kuliah,’’ kata bungsu dari lima bersaudara dalam wawancara khusus dengan Ariyanto, wartawan INDOPOS, di Hotel Sahid Jakarta (9/12).
Ceritanya begini. Pada 1987, ketika duduk di semester 2. Beauty dekat dengan seorang laki-laki. Kakak kelasnya di Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, Jawa Timur. Sebut saja namanya Ahmad Badaruddin, asal Lombok Utara, NTB.
Suatu ketika, kerabat Ahmad datang ke kos-kosan Beauty. Bawa empat buah mobil L-300. Beauty berpikir mereka berkunjung biasa. Tapi ternyata ingin mengajak ke Lombok. ’’Kalau kamu mau sama saya, ayo aku kenalkan dengan keluarga besar saya,’’ kata pacar saya kala itu. ’’Saya sih senang saja. Etong-etong mlaku-mlaku (anggap saja jalan-jalan) Mas,’’ ujar perempuan kelahiran Surabaya, 12 November 1943, ini.
Setelah 36 jam perjalanan darat dan laut, tibalah Beauty di rumah keluarga besar pacarnya. Lombok Utara. Di sana sudah disiapkan surat-surat pernikahan, mahar berupa Alquran, penghulu, dan acara syukuran. ’’Kalau datang ke sini (rumah pihak laki-laki), berarti harus nikah,’’ kata Beauty menirukan ucapan mereka.
Bak petir di siang hari. Beauty kaget bukan main. Usia baru 19 tahun. Masih duduk di semester awal. Kedua orang tua, khususnya ibu. juga ingin anaknya tidak nikah sebelum kuliah selesai. ’’Saya merasa dijebak. Bayangan saya nikah itu sesuatu yang besar. Dihadiri keluarga besar dari kedua mempelai. Dirayakan secara meriah. Ada pelaminan. Mengundang teman, kerabat dan sebagainya. Saya stres berat,’’ tutur dia sembari menahan sesak di dada.
Pihak kerabat calon suami kemudian nyelabar, memberi tahu kalau anaknya ada di Lombok dan akan nikah. Sebenarnya Beauty ingin memberitahu langsung, tapi tak berani. Kedua orang tuanya yang saat itu telah bercerai, pasti tidak mengizinkan. Dan benar, ketika kerabat calon suaminya meminta restu, orang tuanya tidak setuju.
Mereka pun memutar otak. Akhirnya dikatakan kalau Beauty itu mau bunuh diri kalau tidak dinikahkan. Diberitahu informasi seperti itu, ayahnya yang tinggal di Surabaya akhirnya bersedia datang. Mau menjadi wali nikah. Sedangkan ibunya yang tinggal di Jakarta tetap tidak memberi restu. ’’Empat hari di Lombok Utara, saya banyak meratapi nasib. Kok nasib saya begini ya? Menangis di kamar. Kadang menyapu, mengepel, dan memasak, masih menggunakan kayu bakar,’’ ungkap anak dari Tatik Suparti dan Bambang Siswoyo ini.
Empat hari kemudian, ayah Beauty tiba di Lombok. Ayahnya menasihati bahwa yang dialaminya itu takdir Tuhan. ’’Ya sudahlah. Itu nasibmu Ndok. Terima apa adanya,’’ Mendapat nasihat seperti itu. Beauty mengaku pasrah.
Dua hari kemudian, pernikahan dihelat. Saat ijab kabul (serah terima), Beauty tak bisa menyembunyikan kesedihan. Air mata terus menilik. Merasa berdosa kepada ibunya karena tak bisa penuhi keinginan. Tak dapat restunya lagi.
Kesedihan Beauty makin memuncak ketika keluarga besar suami tidak memperbolehkan kuliah. Dia berontak. Genderang ’’perang’’ pun ditabuh. Suaminya ditarik ke kamar dan dirinya minta diceraikan. Suami kaget bukan kepalang mendengar kata cerai di usia pernikahan yang baru berumur sebulan. ’’Kata cerai tidak ada dalam kamus keluarga kami,’’ kata suaminya kala itu dengan nada tinggi. ’’Sabar. Nunggu saya lulus. Saya kan sudah semester IV,’’ lanjut suaminya.
Tidak mau ditipu kedua kali. Beauty tetap ngotot ingin meneruskan kuliah. Kegigihannya membuat suaminya luluh. Keduanya kemudian melanjutkan kuliah di Malang. Puluhan ekor sapi yang dimiliki suaminya di kampung satu demi satu dijual untuk biayai kuliah.
Setahun menikah, Beauty hamil. Dia diminta melahirkan di Lombok. Di sinilah konflik batin kembali terjadi. Sebab, menurut adat di sana, ibu hamil tak boleh makan daging. Cuma boleh konsumsi nasi dan cabe muda. Seorang yang melahirkan juga harus ke dukun. ’’Saya dioyok-oyok (digoyang-goyang) pakai sarung selama tiga jam saat hendak melahirkan, saya pendarahan hebat. Saya ngotot minta dibawa ke puskesmas,’’ kata dia.
Beruntung nyawa ibu dan anak berhasil diselamatkan, meski pendarahan dua hari. Bayi lahir normal, walaupun kondisi Beauty waktu itu kurang asupan gizi karena pola makan tak seimbang. ’’Bayangkan, dalam kondisi seperti itu saya masih berkelahi dulu agar bisa dibawa ke puskesmas. Betapa kesehatan- reproduksi perempuan dan keselamatan ibu melahirkan kurang dipedulikan,’’ ungkap dia prihatin.
Ketika anaknya berusia empat bulan. Beauty ingin melanjutkan kuliah. Lagi-lagi, keluarga suami tak mengizinkan. Suaminya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya diam seribu bahasa. Dia nekat kabur membawa anaknya. ’’Tapi saya ketangkep sama kakak ipar pos di Pasar Tanjung. Saya dibawa pulang lagi,’’ cerita dia. ’’Sesampainya di rumah saya katakan lagi kalau saya mau kuliah,’’ pinta dia.
Kengototannya mampu meluluhkan hati keluarga besar. Beauty boleh meneruskan kuliah. Berangkatlah dia ke Malang bersama suaminya. Pesan ibunya bahwa perempuan harus punya cita-cita setinggi langit memacu dirinya belajar rajin. Dan, ketekunannya itu membuahkan hasil. Meski sembari mengasuh anak, dia mampu selesaikan kuliah tepat waktu. Setelah empat tahun menimba ilmu, dia berhasil menyabet gelar sarjana hukum. Setahun kemudian, giliran sang suami menyelesaikan studi. Sebagaimana tradisi di sana, usai wisuda, keduanya kembali ke kampung halaman.
’’Tapi saya akhirnya minta cerai setelah tujuh tahun nikah dan dikaruniai dua anak. Gak kuat Mas. Saya tidak bisa kalau semua keputusan harus dari keluarga besar. Saya juga sering dapat kekerasan psikis dan fisik,’’ ungkap ibu dari Bambang dan Dias ini.
Beauty mengungkapkan, bukan hanya dirinya yang menjadi korban merarik. Bahkan, dalam praktiknya, banyak anak di bawah umur ’’diculik’’ usai pulang dari sekolah atau pesantren. Mereka kemudian dinikahi. Terkadang jadi istri pertama, istri kedua, dan ketiga dari seorang Tuan Guru (di Jawa: kiai).
Tak ingin kekerasan terhadap perempuan ini mentradisi, Beauty ’’mengadukan’’ hal ini kepada Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Dalam acara Laporan Pertanggungjawaban Publik Komisi Paripurna Komnas Perempuan Periode 2007-2009 di Jakarta, (9/12), dia mengatakan kepada Wakil Ketua Komnas Perempuan Sylvana Maria Apituley bahwa antara adat dan agama di Lombok tidak ketemu.
’’Dalam kasus merarik, banyak yang nikah pada usia 14 tahun, 15 tahun. Kalau agama sudah clear. Sedangkan di sana, adat seperti merarik ini harus dilestarikan. Mereka bilang UU yang memerintahkan untuk melestarikan adat. Implementasi adat memang berbeda-beda tiap daerah. Komnas Perempuan harus turun ke lapangan. Ini lebih kepada dukungan moral ke tokoh adat,’’ kata dia kepada Sylvana.
’’Saya kira apa yang disampaikan Beauty ini sangat penting dan akan ditindaklanjuti. Soal adat ini memang harus hati-hati, karena kalau salah pendekatan kita bisa dianggap perusak budaya. Ya inilah tantangan kita,’’ kata Sylvana. ’’Bu Beauty periode mendatang (2014-2018) harus menjadi Komisioner Komnas Perempuan,’’ tukas Sylvana. ’’Ah nggaklah Bu,’’ jawab Beauty.
Kepada INDOPOS, Beauty mengungkapkan, dirinya lebih senang menetap dan berjuang membela kaum perempuan di Lombok dari pada di Jakarta. ’’Komnas paling lebih kepada kebijakan dan ide-ide yang melangit. Saya lebih senang yang riil seperti yang saya lakukan di LBH Apik NTB sekarang,’’ pungkas Magister Hukum dari Universitas Mataram, NTB, ini. (*)
INDOPOS, 12 Desember 2009
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Pinggiran - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template