Headlines News :
Home » » Dominasi Wacana Heteroseksual

Dominasi Wacana Heteroseksual

Written By Unknown on Senin, 08 Oktober 2007 | 14.52

Oleh

Ariyanto

Dunia sastra Indonesia belakangan ini ’’dibanjiri’’ dengan karya-karya bertema ’’perempuan’’ dan ’’seks’’. ’’Perempuan’’ terutama dalam arti ’’pengarang perempuan’’, dan ’’seks’’ sebagai tema karya sastra yang sedang ngetren. Sampai-sampai sering terdengar sindiran seperti ’’asal pengarangnya perempuan, apalagi perempuan muda dan cantik, pasti diterbitkan’’, atau ’’asal berbau seks, apalagi pengarangnya perempuan, pasti laku’’.


Begitu banyak pengarang perempuan baru bermunculan dalam beberapa tahun terakhir ini, dan tidak sedikit dari mereka mendapat sambutan luar biasa, baik dari segi respons media, penghargaan sastera maupun jumlah buku yang terjual. Sastera Mazhab Selangkang (SMS), begitu terminologi yang digunakan penyair Taufik Ismail untuk menyebut sastera ’’berlendir’’ atau ’’berbau seks’’, memang sedang marak menghiasi etalase toko buku di Indonesia. Benarkah karya mereka demikian hebat sehingga pantas dihebohkan seperti itu?


Secara paling mencolok hal itu terlihat pada reaksi terhadap karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Novel Saman karya Ayu Utami (1998) menjadi titik awal tren sensasi karya ’’berbau seks’’ dan pengarang perempuan yang ingin mendobrak tabu. Demikian juga karya Djenar. Sepulang kuliah, saya dan dua teman sekelas saya mampir ke toko buku yang tidak jauh dari kampus UI Depok. Begitu tiba di toko buku itu, kita bertiga langsung menuju rak buku sastera. Saat itu memang ada tugas dari DR Haryatmoko, dosen Filsafat UI, agar mengapresiasi salah satu karya sastra untuk mata kuliah hermeneutika.


Seorang teman terkagum-kagum usai membaca novel karya Ayu Utami seperti Saman dan karya Djenar Maesa Ayu seperti Nayla. Dia bilang, teknik komposisi karya dua sastrawan itu tidak konvensional, gaya bertuturnya terbuka dan cenderung vulgar. Tetapi, kata dia, justru di situlah kemenangannya setelah sekian lama sastra Indonesia dibelenggu oleh kesantunan puritanisme modern yang hipokrit. Sastera Indonesia didominasi norma-norma zaman Victoria (Victoria regime), Ratu angkuh dan puritan yang melambangkan seksualitas kita yang berciri menahan diri (restrained), diam (mute), dan munafik (hypocritical sexuality). ’’Baca saja novel Saman, dengan kalimat akhirnya ’’Perkosalah aku’’ yang provokatif itu. Mana ada sebelumnya sastrawan yang berani menulis dengan bahasa yang vulgar, membicarakan persoalan seksualitas yang dianggap ’’menyimpang’’ seperti hubungan seks di luar nikah, masturbasi, sadomasokisme, seks bebas (free sex) dan homoseksualitas,’’ kata teman saya itu dengan mimik serius, sembari membalik halaman demi halaman novel Saman.


Mendengar pernyataan itu, teman saya satunya mengatakan, ’’Ah, apanya yang vulgar, apanya yang tidak konvensional. Permasalahan seksualitas dalam karya sastra kita itu tidak ada yang baru. Banyak kok yang berbicara seperti itu sebelumnya,’’ tukas dia santai.  Ketika saya dimintai pendapat kedua teman saya itu, saya hanya mengatakan singkat, ’’Karya kedua sastrawan itu telah mendobrak segala tabu mengenai seksualitas dan membongkar budaya patriarkis. Namun itu semua masih dalam koridor heteroseksualitas. Hanya berputar-putar pada persoalan vagina dan penis. Karya sastera kita masih bias ideologis. Belum benar-benar melakukan liberalisasi seks.’’ Mengapa?


Ya, sastra Indonesia memang diam-diam ternyata bias ideologis. Hanya membela heteronormativitas (ideologi bahwa heteroseksualitas paling alamiah, normal, dan sehat). Menekuk homoseksual. Sadar atau tidak, secara perlahan pembacanya digiring untuk mengikuti atau mengutuk orientasi seksual yang dianggap menyimpang tersebut. Ini bukan persoalan benar dan salah atau pahala dan dosa. Tapi, karya sastera kita ternyata belum melakukan dekonstruksi atau pendobrakan terhadap nilai-nilai atau tatanan yang tidak menghormati ’’yang lain’’ (the others). Parahnya lagi, baik langsung atau tidak langsung, karya sastera kita justru turut ambil bagian dalam mencemooh ’’yang lain’’ itu.


Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah karya sastra Indonesia yang mengandung heteronormativitas. Namun yang jelas, dari pembacaan saya selama ini, belum ada satu pun karya sastra yang berani memasuki ’’daerah terlarang’’ itu. Andaikan ada, biasanya itu ditulis kaum homoseksual sendiri. Itu pun lebih kepada testimoni berkaitan dengan diskriminasi yang selama ini mereka alami. Misalnya karya Shuniyya Habibullah yang menulis Jangan Lepas Jilbabku. Buku yang lebih mirip disebut otobiografi bergaya novel ini menceritakan bagaimana jebolan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, itu mendapatkan berbagai perlakuan tidak menyenangkan antara lain disuruh melepas jilbabnya karena dianggap tidak pantas. Ada juga novel berjudul Lelaki Terindah karya Andrey Angsana yang mengisahkan percintaan dua lelaki. Sekilas novel ini tidak heteronormativitas. Tapi kalau dikaji lebih dalam, lagi-lagi novel semacam ini juga memberikan stigmatisasi negatif terhadap kelompok homoseksual. Sebab, di buku tersebut diceritakan bahwa tokoh yang menjadi homo itu lantaran tekanan psikologis, stres dan sebagainya.


Heteronormativitas juga terjadi pada karya sastra yang selama ini sering disebut sebagai karya ’’dekonstruksionis’’, menyingkap seksualitas yang ditabukan dan mendobrak tatanan seksual yang sudah dianggap mapan dan tak tergoyahkan, yaitu heteronormativitas dengan segala norma-norma kesantunan modern (modern prudishness). Karya sastra dekonstruksionis itu seperti Novel Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami dan novel Nayla dan cerpen Menyusu Ayah karya Djenar Maesa Ayu hanya asyik berputar-putar dalam bingkai heteronormativitas. Benarkah demikian?


Sebutan sastra ’’pendobrak’’ ini barangkali memang tidak berlebihan. Karya-karya mereka sepertinya hendak melawan budaya patriarkis yang begitu mengakar sekian lama dan bahasa yang digunakan cenderung vulgar. Tidak hanya itu, di dalam karya sastranya juga banyak membicarakan persoalan seksualitas yang dianggap ’’menyimpang’’ seperti hubungan seks di luar nikah, masturbasi, sadomasokisme, dan seks bebas (free sex). Bahasa yang vulgar dan seksualitas yang dianggap menyimpang itu seperti terdapat dalam kutipan cerpen Menyusu Ayah (2004:36­­­­­­–39) karya Djenar berikut ini:


 Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak menghisap puting payudara ibu. Saya mengisap penis ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani ayah…Saya senang cara mereka mengarahkan kepala saya perlahan ke bawah dan membiarkan saya berlama-lama menyusu di sana. Saya menyukai air susu mereka yang menderas ke dalam mulut saya. Karena saya sangat haus.


 Kalimat pertama berbunyi, ’’Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki.’’. Kalimat ini dengan sangat jelas bahwa Djenar ingin melakukan dekonstruksi terhadap budaya patriarkis yang sekian lama mengakar di Indonesia. Perempuan dalam masyarakat patriarkis dapat digambarkan melalui oposisi biner berikut ini: Perempuan lemah, laki-laki kuat; perempuan emosional, laki-laki rasional; perempuan hanya di wilayah privat, laki-laki di ranah publik; perempuan dipimpin, laki-laki memimpin; perempuan rapuh, laki-laki tegar dan lain sebagainya.


Sedangkan kalimat kedua sampai terakhir menunjukkan ketidaklaziman dan kevulgaran bahasa yang dipakai Djenar. Ketidaklaziman dan kevulgaran ini tentu saja dilihat dari sudut pandang yang lain di luar masyarakat kebanyakan. Di situ disebutkan bahwa Nayla tidak biasa menghisap atau menyusu puting payudara ibu sebagaimana dilakukan orang pada umumnya. Tapi mengisap penis dan menyedot air mani ayah. Nayla ketagihan dan sangat menikmati hal itu hingga berlama-lama. Namun ketidaklaziman dan kevulgaran itu sekali lagi masih dalam bingkai heteroseksualitas itu. Ceritanya akan lain jika yang menghisap penis ayah itu seorang laki-laki, konotasinya bisa menjadi oral sex yang biasa dilakukan kaum homo, walaupun ada juga kelompok hetero yang melakukan itu dengan pasangannya.


Bagaimana dengan karya Ayu Utami? Hampir setali tiga uang. Di dalam novel tersebut, perilaku homoseksualitas diceritakan melalui keempat tokoh perempuan, yaitu Shakuntala, Yasmin, Laila, dan Cok. Hampir seluruhnya bertentangan dengan norma masyarakat di Indonesia. Shakuntala memiliki kecenderungan biseksual, Yasmin mengkhianati suaminya dan sekaligus mewujudkan sadomasokisme dengan seorang pastor. Laila jatuh cinta pada seorang laki-laki yang sudah menikah. Tapi, akhirnya berhubungan seks dengan Shakuntala, dan Cok gemar berganti-ganti pasangan.


Dari sisi ini, barangkali tidak salah jika kedua novel tersebut dikatakan sebagai karya sastera pendobrak segala tabu. Namun, pendobrakan segala tabu itu masih dalam kerangka heteronormativitas. Shakuntala, Yasmin, Laila, dan Cok suka dengan lawan jenis. Jika di situ disebutkan bahwa kisah percintaan Shakuntala dan Laila, bukan berarti novel karya Ayu Utami itu ramah terhadap homoseksual. Sebaliknya, justru melakukan stigmatisasi negatif terhadap kelompok itu dan mengukuhkan heteronormativitas. Di dalam novel tersebut diceritakan bahwa tokoh Laila digambarkan sebagai seorang perempuan yang sama sekali tidak memiliki kecenderungan menjadi lesbian alias heteroseksual murni. Namun ketika patah hati karena dikecewakan pacarnya, Laila tidak menolak didekati secara seksual oleh Shakuntala. Terjadilah hubungan seks sesama jenis itu.


Dari kisah ini jelas bahwa ada stigma negatif yang hendak dibangun, yaitu Laila menjadi lesbian karena dikecewakan laki-laki. Kepolosan Laila lalu membuat Shakuntala ingin memberikan kepadanya sex education (pelajaran seks). Usai ’’privat seks’’ itu disampaikan, sebelum Laila menemui pacarnya lagi, Sihar, Shakuntala mengatakan: ’’Setelah itu kamu (Laila, Pen) boleh pergi: Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora…’’. Dengan perkataan tersebut Shakuntala bermaksud mengajari Laila mengenai hakikat hubungan seks ’’normal’’, heteroseksual.


Jadi, andaikan ada beberapa karya sastra Indonesia itu ada yang bercerita tentang homoseksual, maka homoseksual akan digambarkan sebagai sosok yang mempunyai sejarah hidup tak membahagiakan, mengalami tekanan psikologis dan sebagainya. Pada novel Nayla, misalnya. Tokoh Nayla yang mencintai Juli (lesbianisme) digambarkan sebagai tokoh yang mempunyai problem psikologis. Ayahnya meninggal sejak dia masih kecil, kehilangan kasih sayang ayah, sementara ibunya suka menyiksanya dengan menusukkan peniti ke vagina. Lantaran stres, Nayla kemudian terlibat narkoba dan akhirnya dimasukkan ke panti. Dia lalu melarikan diri dan senang ke diskotek. Di diskotek inilah dia bertemu Juli.


Sejak awal penciptaan manusia, kita pun sudah diarahkan menjadi heteroseksualitas dengan diciptakannya Adam dan Hawa. Laki-laki dan perempuan. Bukan Adam dan Idris atau Hawa dan Maryam. Seperti terdapat dalam Saman (1998: 191-195). Di situ dilukiskan bagaimana hubungan pria dan perempuan pertama kalinya di taman firdaus, yang diidentifikasi sebagai Adam dan Hawa di surga. Diceritakan bahwa sang pria yang pertama kali ada di bumi, kemudian tulang rusuknya menghilang satu dan mewujud menjadi makhluk perempuan. Jika dipahami secara tekstual ini barangkali wujud dari simbol ideologi heteronormativitas tersebut. Tapi ini tidak salah karena pengarahan orientasi seksual lain jenis ini tentu saja bertujuan prokreasi alias untuk memperbanyak keturunan dan mengisi planet bumi. Namun bagaimana jika bumi ini sudah penuh dengan manusia? Saya pikir rasanya Adam dan Hawa sudah tidak relevan lagi dikatakan sebagai simbol heteroseksual, melainkan pasangan biasa yang saling mencinta dan menyayangi. Bisa saja sekarang Tuhan yang menciptakan manusia berpasang-pasangan (azwajan), itu diartikan pasangan apa saja. Bisa laki-laki dan perempuan. Bisa juga laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Bukankah intinya terletak pada tujuan berpasang-pasangan itu yaitu untuk menciptakan ketenangan, kasih sayang dan memberi rahmah (litaskunu ilaiha mawaddah warahmah).


Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kuasa karya sastera Indonesia sejak awal memang seperti mengarahkan pembacanya, baik langsung atau tidak langsung, kepada heteroseksualitas. Cenderung kepada memproduksi wacana heteroseksualitas dan sekaligus melakukan stigmatisasi negatif terhadap homoseksual.


Dalam konteks ini, maka saya kurang sependapat jika ada yang mengatakan bahwa sastera Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat menarik dalam beberapa tahun terakhir. Kalau ukurannya banyak bermunculan penerbitan buku sastera, tumbuhnya pelbagai komunitas sastera, dan hadirnya penulis-penulis sastra terbaru yang susul menyusul, memang benar. Tapi menulis dari perspektif lain, hal itu masih belum ada.


Persoalan seksualitas dengan gaya penyampaian vulgar ini sebenarnya banyak dijumpai pada karya sastra Indonesia lainnya– walaupun tidak sevulgar karya Djenar atau Ayu Utami–maupun karya sastera di negara lain. Bahkan, kalau kita mau melihat karya-karya sastera kuno karya Ronggowarsito, mulai Serat Centhini, Darmo Gandul, dan sebagainya, masalah seksualitas sudah diceritakan dengan sangat gamblang. Banyak sekali diceritakan tentang seksualitas secara vulgar dan beraliran heteroseksual. Seperti terdapat dalam Serat Centhini Latin 9 (1990:6-21). Berikut ini kutipan teksnya:


 Tingkahipun para nayub katingal resah, tombokipun arta kaseselaken salebeting keben kaliyan malintir payudara. Warna-warni solahipun tamu para nayub, sadaya ngumbar kakajengan amargi sampun sami kakathahen nginum arak. Kathah tamu ingkang ngantos brindhil telas-telasan. Nyi Randha lajeng lumebet, perlu ndumugekaken nafsu-sanggamanipun. Sasampunipun angsal tiyang tiga, lajeng wangsul datheng pandhapi.


 (Tingkah laku para nayub terlihat resah, sejumlah uang dimasukkan ke BH sekaligus memelintir payudara. Bermacam-macam tingkah laku para nayub, semuanya mengumbar nafsu karena kebanyakan minum arak. Mereka habis-habisan memberikan uang. Nyi Randha kemudian masuk untuk meluapkan nafsu senggamanya. Hingga dapat orang tiga, kemudian masuk ke pandapa).


 


Intinya, meskipun perempuan penulis belakangan ini bermunculan dengan gaya ’’filsafat posmo’’-nya yang mendobrak puritanisme modern, tetap saja tidak keluar dari koridor heteroseksualitas dan tidak mampu meruntuhkan hegemoni heteroseksualitas. Sastra yang merupakan wujud fisik dari ide, nilai, norma, aturan dan adat istiadat adalah refleksi dari pengarang atau penulisnya yang mengagungkan heteroseksualitas. Buktinya sederhana saja. Ketika penulis menggunakan istilah nikah atau kawin, maka yang ada dalam konsepsi pikirannya adalah seperti makna yang ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).


Di dalam KBBI disebutkan bahwa kata kawin mempunyai makna membentuk keluarga dengan lawan jenis, sedangkan nikah didefinisikan sebagai ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Melihat dari definisi yang dikemukakan Pusat Bahasa ini dapat diketahui bahwa ideologinya adalah heteronormativitas. Tidak bisa dikatakan kawin kalau itu tidak dilakukan dengan lawan jenis, dan tidak bisa disebut menikah kalau perkawinan tidak sesuai ketentuan hukum dan ajaran agama yang kedua-duanya jelas melarang hubungan sesama jenis.


Arkeologi seksualitas yang dibangun melalui konsep pernikahan semacam ini hanya akan semakin mengukuhkan heteronormativitas. Konsep pernikahan harus dilakukan antara laki-laki dan perempuan selama ini hanya akan melahirkan perbudakan seksual (sexual slavery), bukannya pembebasan seksual (sexual freedom) karena seseorang dipaksa untuk menjadi heteroseksual. Jika ideologi heteroseksual memaksa  kaum homoseksual untuk menikah dengan lawan jenis, maka independensi seksualitas sudah tidak ada lagi dan itu sama saja menjadikan mereka pesakitan (ward). Oleh karena itu, menurut saya, kita tidak mungkin menghancurkan pendiskriminasian antara heteroseksual dan homoseksual sebelum kita melakukan uji materi terhadap UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang hanya mengakui pernikahan laki-laki dan perempuan. Untuk itu, perlu pembongkaran dan pendefinisian ulang konsep pernikahan yang lebih adil dan setara.


Nah, penulis dekonstruksionis itu tampaknya belum berani membongkar kuasa bahasa yang berfungsi mengontrol, menyeleksi, mengatur dan menyingkirkan segala apa yang bertentangan dengan ideologi kekuasaan. Dalam hal bahasa jelas bahwa standardisasi bahasa yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, merupakan bagian dari bentuk hegemoni dan represi. Dengan teknik semacam ini, bahasa dapat membentuk masyarakat menjadi semacam subjek sosial tertentu yang akan berakibat pada berbagai identitas sosial mereka, termasuk identitas jenis kelamin mereka yang tidak lain adalah diarahkan kepada laki-laki  dan perempuan. 


Mengapa sastera Indonesia melakukan konstruksi terhadap rakyat Indonesia agar memilih orientasi seksual tertentu, dalam hal ini heteroseksual? Sastra Indonesia dilingkupi mitologi yang terkait latar multietnik. Ada mitologi Jawa, Sunda, Minang, dan Bali. Mitologi yang berakar dalam budaya kelompok etnik itu boleh disebut sebagai ’’dasar pijakan’’ bagi kehadiran mitologi Indonesia dan sekaligus penghubung antara Indonesia yang abstrak dan realitas keindonesiaan yang tengah menjadi. Dengan perkataan lain, sastera Indonesia yang dihidupi pengarang dari berbagai kelompok etnik di Indonesia itu tidak steril dari pengaruh mitologi dalam berbagai wujud dan pengaruhnya.


Ketika agama Islam datang dengan membawa serta mitologi yang berakar pada khazanah pemikir agama tersebut, wayang menjadi wahana yang canggih. Dalam konteks ini, para wali menyebarkan agama Islam di kalangan orang Jawa dengan memanfaatkan wayang itu dan memberinya ruh keislaman sehingga dikenal Wayang Menak yang menokohkan para pahlawan Islam seperti Amir Hamzah.


Pengaruh Islam terhadap sastera Indonesia bisa dikatakan cukup besar. Kehidupan, kepercayaan, cita-cita yang terdapat dalam Islam dengan mudah akan kita jumpai dalam berbagai karya sastra Balai Pustaka. Bahkan, karya sastra para sasterawan Pujangga Baru dan Angkatan ’45. Meskipun untuk waktu lama keislaman ini tidak muncul secara sadar dan menonjol. Tapi, ia tetap jelas menjadi latar belakang hampir setiap karya sastera yang ditulis. Pada dua tiga dasawarsa terakhir ini tampak bahwa keislaman muncul secara lebih sadar dalam kehidupan sastra Indonesia. Itu antara lain tampak dalam karya-karya Bahrum Rangkuti, A.A Navis dan Kuntowijoyo.


Singkatnya, sastera Melayu yang banyak mendapatkan banyak pengaruh Islam itu sudah pasti mengutuk homoseksual, sedangkan keterbukaan sastera Indonesia bagi penulis-penulis karya non-Islam secara langsung maupun tidak mengarahkan dan mengajarkan pembacanya kepada heteroseksual.


Para sastrawan ’’nakal’’ itu semestinya tidak hanya berani mendobrak segala tabu yang melingkupi seksualitas, tapi lebih jauh lagi mendekonstruksi ideologi heteronormativitas itu, yang menganggap seks paling alamiah dan paling sehat adalah heteroseksualitas. Mendekonstruksi ideologi heteronormativitas berarti juga mendekonstruksi tatanan sosial, budaya, politik, hukum dan paling penting adalah agama karena agama (maksudnya penafsiran atas teks-teks suci keagamaan) selama ini dalam praktiknya masih sangat represif terhadap kelompok homoseksual. Ini seharusnya dilakukan para sastrawan itu karena akibat ideologi tersebut, telah melahirkan berbagai tindak kekerasan, baik secara psikologis maupun fisik. Stigmatisasi negatif dan kriminalisasi terhadap kaum homo mengakibatkan sebagian di antara mereka memilih mengucilkan diri dan tidak sedikit yang bunuh diri. Efek turunan ini juga membuat mereka susah mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Jangan sampai karya yang disebut-sebut sebagai sastera pembebasan dari segala bentuk ketertindasan, ini justru melahirkan penindasan baru. Jangan sampai kekerasan episteme ini kemudian melahirkan kekerasan psikologis dan fisik.


Selama ini, episteme seksualitas utama di Indonesia tidak menawarkan adanya multiepisteme yang menghargai adanya keanekaragaman seksualitas. Keanekaragaman seksualitas yang ada di dalam karya Ayu Utami maupun Djenar Maesa Ayu hanya berputar-putar dalam bingkai heteroseksualitas itu. Berkutat pada vagina yang haus akan sperma. Tidak adanya episteme yang membebaskan inilah yang kemudian melahirkan kekerasan, penindasan, dan tidak diakuinya hak-hak kelompok yang terpinggirkan atau minoritas.


Jadi penting sekali untuk melakukan dekonstruksi atas itu semua. Namun, dekonstruksi saja tidak cukup. Seorang sastrawan harus membangun sebuah episteme marginal, yaitu sistem pengetahuan yang berpihak kepada kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan, terdiskriminasikan, mengalami perlakuan sewenang-wenang seperti kaum homoseksual serta mengembangkan budaya toleransi dan menjunjung tinggi keadilan dalam masyarakat multikultural. Episteme marginal ini tidak membenarkan adanya tindak kekerasan, apa pun bentuk kekerasan itu dan terhadap siapa pun. Emansipiasi dan keadilan ini bias dikatakan sebagai wahana membangun episteme marginal. Tanpa kedua hal itu mustahil homoseksual mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan adil. Sistem paling demokratis adalah sistem yang memungkinkan seluruh anggota kolektivitas menikmati hak setara untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam pengambilan keputusan. Definisi ini menegaskan bahwa seharusnya semua anggota kolektivitas harus dimasukkan ke dalam demokrasi. Penyisihan atas dasar gender, ras, suku, agama dan golongan tentu tidak dapat dibenarkan, termasuk dalam hal ini memarginalkan kaum homoseksual yang memiliki ’’gender khusus’’. Karena itu, epistemologi marginal sebagai wacana alternatif dan cara melihat baru yang peduli akan nasib homoseksual harus dibangun. Dengan demikian, kaum homoseksual bisa menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri, dan bukan melalui cara pandang kaum heteroseksual.


            Agama yang menjadi ’’sumber kekerasan’’ dan sangat represif terhadap kaum homoseksual juga harus didekonstruksi kembali. Dekonstruksi di sini tidak hanya sebagai pembongkaran habis, melainkan sebagai usaha positif yang menjaga dan mengedepankan realitas yang tak tersuarakan, terlupakan dan subordinat. Sejarah seksualitas adalah konstruksi. Konstruksi yang telah lama diterima bertahun-tahun dan diharamkan untuk dikritik dan dibongkar habis-habisan. Padahal kebenaran yang dikonstruksi adalah omong kosong. Oleh karena itu, kebenaran-kebenaran yang dianggap dan dipaksakan logis harus senantiasa ditolak. Sastrawan harus mampu membongkar dan menembus benteng kokoh ’’rezim kebenaran’’ heteroseksual yang univokal yang dalam wacana-wacana dominan dianggap sebagai the logos dan the norm itu.


            Karenanya, perlu dilakukan reinterpretasi terhadap agama sehingga bisa menghargai yang lain. Jika kita buka kitab suci, yang saya ketahui di sini adalah Alquran, tidak ada satu teks pun yang menyatakan pengharaman terhadap perilaku seks sesama jenis. Kitab suci, dalam hal ini Alquran maupun Hadis hanya menyebutkan secara implisit bahwa Islam mendukung seksualitas prokreatif yang dibingkai dalam sebuah perkawinan yang sakral. Suami dan istri yang tidak bisa bereproduksi dianggap sebagai pasangan yang ’’tidak sempurna’’. Banyak ayat Alquran maupun hadis yang memerintahkan hal tersebut. Di dalam hadis misalnya, umat Islam diperintahkan agar memilih istri yang bisa menghasilkan banyak keturunan. Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW: ’’Kawinilah wanita yang subur rahimnya (waluud) dan pencinta, karena aku (Rasulullah SAW) kelak berbanyak-banyak kepada umat-umat lain dengan kalian’’. Di dalam hadis lain Rasulullah mengatakan, ’’Alaikum bil abkaar fainna hunna a’dzabu afwaahan waantaqu arhaaman wa askhonu aqbaalan wa ardhoo bil yabiiri minal amal.’’ (’’Kawinilah oleh kalian perawan, karena perawan itu lebih segar mulutnya, lebih subur rahimnya, lebih hangat vaginanya, dan lebih rela dengan nafkah yang sedikit’’).


            Di dalam Alquran juga disebutkan bahwa Allah memerintahkan kepada manusia agar bertakwa kepada-Nya yang telah menciptakan dari diri yang satu (min nafsin wahidatin), dan daripadanya Allah menciptakan isterinya. Dari keduanya, Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak (wa batsa min huma rijalan katsiron wa nisaa’a). Bahkan, di dalam Alquran disebutkan bahwa seorang isteri itu ibarat ladang bagi suaminya (an-nisaa’u hartsun lakum) dan seorang suami sebagai petaninya yang harus menggarap tanah tempat bercocok tanam itu sehingga menghasilkan tanaman. Jadi, ladang di sini merupakan simbol dari prokreasi itu sendiri.


Berdasarkan pertimbangan prokreasi itulah yang membuat Islam sangat mengutuk berbagai perilaku seks yang tidak bisa menghasilkan keturunan seperti onani, lesbi, gay, gay, dan transgender. Namun prokreasi ini semata-mata atas pertimbangan bahwa saat itu Islam membutuhkan umat yang banyak untuk menyebarkan Islam. Kalau tidak berorientasi kepada prokreasi, tentu umat Islam tidak sebanyak sekarang ini. Itu sebabnya nabi Muhammad sangat senang dengan jumlah umatku yang banyak.


Bahkan prokreasi dan ikatan suci perkawinan ternyata juga belum cukup. Kedua pasangan suami dan istri juga diwajibkan mengikuti seabrek rambu-rambu yang telah ditetapkan. Namun di antara semua rambu seks yang harus dipatuhi tersebut, perilaku seksual yang benar-benar ditekankan adalah harus dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya, tekanan paling kuat dirasakan adalah adalah kelompok yang menyukai seks sesama jenis. Bagaimana dengan kisah umat nabi Luth yang diazab Tuhan lantaran perilaku seksual menyimpangnya itu?


Di dalam Alquran, kemarahan Tuhan digambarkan dengan melakukan penjungkirbalikan bagian atas kota dijadikan terbalik ke bawah (faja’alnaa ‘aa liyahaa saafilahaa) dan menghujani mereka dengan batu dari tanah yang keras (wa amthorna ‘alaihim hijarotan min sijjil). Itu bisa dilihat dalam Alquran Surat Al-A’raaf (7): 84; Al-Hijr (15): 73-76; Hud (11): 82-83; dan Asy-Syu’ara (26): 172-175. Saya menyimpulkan bahwa azab yang ditimpakan kepada kaum homoseksual ini sebenarnya lebih disebabkan kepada pengingkaran umat nabi Luth yang mendustakan, mencemooh, dan mengancam akan mengusir nabi Luth serta tamu-tamu kehormatannya. Bukan karena orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang. Azab yang lebih disebabkan pada kesombongan kaum Luth yang menantang Tuhan agar menurunkan azab dan siksaan-Nya. Kesimpulan ini pengingkaran menantang Tuhan agar menurunkan azab dan siksaan-Nya.


Kesimpulan ini berdasarkan pada teks suci yang menyebutkan adanya ancaman kaum Luth yang mengatakan, ’’Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir (QS Asy-Syura (26): 167). Kaum Luth juga mengatakan bahwa nabi Luth sebagai orang yang munafik dan sok suci. Selain menghina nabi, kaum Luth juga mempermalukan tamu-tamu nabi Luth dengan tidak baik dan membuatnya malu sampai-sampai nabi Luth mengatakan, ’’Sesungguhnya mereka adalah tamuku, maka janganlah kamu memberi malu.’’ Parahnya lagi, kaum Luth yang sombong itu menantang Tuhan agar Dia menimpakan siksa dan azab kepada mereka (QS Al-Hijr (15): 68 dan Al-Ankabut (29): 29). Jadi, semua azab yang ditimpakan kepada umat-umat sebelum dan sesudah nabi Luth tidak terlepas dari penolakan dan cemoohan mereka terhadap utusan-Nya. Banjir nabi Nuh, Fir’aun yang ditenggelamkan, kaum Saba yang ditimpakan banjir, kaum Aad yang ditimpakan badai, dan sebagainya semuanya bermuara dari penolakan dan pengusiran terhadap para utusan-Nya itu. Inilah salah satu model episteme marginal yang bisa dibangun oleh para sasterawan di dalam karya-karyanya. Tidak bisa hanya berhenti pada dekonstruksi. Sesudah didekonstruksi terus apa? Ini yang lebih penting.


Tantangan membangun episteme marginal ini tentu saja tidak mudah karena harus berhadapan dengan banyak orang. Yang paling kuat menentang upaya membangun hal itu adalah para agamawan, terutamanya aliran garis keras atau kalangan fundamental. Bahkan, kaum moderat pun sebagian pasti juga akan menentang habis-habisan orientasi seksual yang sangat dikutuk Tuhan itu.


Selain itu, harus berhadapan dengan sastra pasar yang cenderung menyukai karya sastera ’’berbau seks yang heteroseksual’’ di awal abad 21 ini. Kepentingan kapitalis begitu kentara ada di belakang para perempuan penulis. Logika pasar dan paradigma keuntungan mencoba menjadikan daya tarik fisikal (sensualitas) perempuan penulis untuk memasarkan karya mereka. Daya pikat seksual ini dipandang lebih menguntungkan secara komersial. Para penerbit berlomba-lomba menerbitkan karya perempuan penulis untuk meramaikan pasar, dan memenuhi kehausan masyarakat akan karya alternatif di luar mainstream (karya lelaki). Jika ’’hasrat’’ pasar menghendaki karya semacam ini, tentu saja karya berbau homoseksualitas pasti tidak akan dikehendaki. Kalau pun itu diterbitkan, kemungkinan besar pasarnya sangat sempit.


Di sini memang dibutuhkan kesadaran kritis dari sasterawan agar sekali lagi tidak terjebak pada penindasan bentuk baru, menjadi marionnette (boneka yang dijalankan dengan tali) di tangan kapitalis. Ini akan melahirkan ketidakkritisan. Karyanya hanya berbicara banyak seputar seksualitas itu-itu saja tanpa mau mendobrak ideologi di balik itu yang sangat membahagiakan bagi kemanusiaan. Hanya mampu melakukan liberalisasi seks secara terbatas dalam bingkai heteroseksualitas. Tanpa mengurangi kebanggaan saya terhadap karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu yang telah mendobrak segala tabu dan sekaligus membebaskan perempuan dari segala bentuk ketertindasan, seharusnya sasterawan juga mampu melahirkan karya besar (magnum opus) yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan universal seperti kesetaraan dan keadilan serta melawan segala bentuk dominasi dan diskriminasi. Bukan hanya untuk perempuan, tapi kemanusiaan secara umum. Termasuk dominasi wacana heteroseksual yang melahirkan berbagai tindak diskriminasi terhadap kalangan homoseksual.


Saya melihat Ayu Utami dan Djenar sepertinya hanya sibuk dengan problematika seks yang melingkupi kehidupan perempuan. Dan selanjutnya, hanya persoalan seksualitas itu yang diotak-atik yang kemudian diikuti perempuan penulis lainnya karena lebih mempunyai nilai jual. Jika ini yang terjadi, maka kesannya adalah mereka bisanya hanya menulis tema-tema seksualitas. Berbeda sekali dengan laki-laki penulis yang bisa mengangkat tema lain dengan berbagai perspektif.


Saya juga menangkap kesan bahwa Ayu Utami dan Djenar (dan juga umumnya perempuan penulis lain) hanya mampu menampilkan persoalan seksualitas yang meliputi kehidupan perempuan. Sekadar itu. Dalam novel Nayla, misalnya, bercerita tentang Nayla yang dihukum berdiri di atap seng dengan kaki telanjang pada tengah hari dan kalo nakal, vaginanya ditusuk pake jarum jahit. Jadi hanya menampilkan cerita-cerita tragis dan berbagai tindak diskriminatif yang dialami kaum perempuan. Kalau itu semua disebabkan oleh konstruksi budaya patriarkis salama ini, mengapa hal itu tidak diimbangi dengan konstruksi positif lain yang mengangkat keadilan dan kesetaraan? Tidak saja dalam koridor heteronormativitas, tapi juga homonormativitas. Misalnya mengangkat bagaimana konstruksi positif itu harus dilakukan semua pihak, yaitu negara melalui berbagai kebijakannya, agamawan melaui khutbah-khutbahnya, seniman dengan karya-karyanya, dan juga perlakuan masyarakat. Tentu saja tetap dikemas dalam gaya sastera.


Inilah kode eksplisit (code explicit) yang menguasai kegiatan seksual selama ini, yaitu wacana agama, budaya, bahasa dan sastera, dan juga media. Wacana inilah yang membentuk seksualitas seseorang karena wacana seksualitas yang diproduksi di Indonesia berorientasi pada prokreasi dan bukan senata-mata rekreasi, maka seksualitas yang terbentuk adalah heteroseksualitas. Akibatnya, heteroseksualitas dianggap sebagai yang baik, normal, natural, dan seksualitas yang menyenangkan, sedangkan homoseksual dianggap buruk, tidak normal, tidak natural, dan sekaligus yang terkutuk. Oleh karena itu, sekali lagi, episteme heteronormativitas harus dibongkar dan kemudian membangun episteme marginal yang berpihak kepada kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan, terdiskriminasikan, mengalami perlakuan sewenang-wenang serta mengembangkan budaya toleransi.


            Dengan cara inilah kita bisa menuju pada emansipasi dan keadilan homoseksual. Emansipasi ini mengandaikan adanya keterbukaan dan pemberdayaan kaum homoseksual. Tanpa kedua hal itu, emansipasi tentu saja sulit terwujud. Era keterbukaan ini bisa dimulai kalau kaum homoseksual berani keluar dari penjara sosial dengan segala aturan dan norma yang membelenggunya. Kaum homoseksualitas juga harus melepaskan topeng heteroseksualnya dan harus siap menghadapi jika masyarakat dan bahkan keluarga mencemooh, mengejek, dan mengusirnya. Ini mutlak diperlukan agar mereka tidak berlarut-larut mendustai kodratnya dan membuatnya tersiksa. Jika ketertutupan ini berlangsung secara terus menerus akan membuat mereka sakit jiwa, walaupun sebenarnya masyarakat yang membuat mereka seperti itu yang sebenarnya sakit jiwa.


Seorang sastrawan mestinya dapat mewujudkan emansipasi ini bukan hanya berhenti pada membebaskan ketertindasan. Caranya ada tiga. Pertama, mengajak masyarakat mau menerima mereka apa adanya. Kedua, heteronormativitas yang selama ini memenjarakan mereka harus dibongkar. Ketiga, meningkatkan citra diri. Yang terakhir ini sangat penting karena dengan citra diri yang baik, mereka akan mampu menghadapi berbagai aral dan rintangan. Peningkatan citra diri dapat dilakukan dengan memperluas pengetahuan dan meningkatkan kompetensi. Tidak hanya pengetahuan tentang seksualitas, tapi juga segala pengetahuan yang terkait baik langsung maupun tidak langsung terhadap stigma negatif yang dilontarkan masyarakat heteroseksual kita. Bisa pengetahuan agama, psikiatri, kedokteran, psikologi dan sebagainya. (*)


 


 

Share this article :

2 komentar:

  1. menurut u novel Nayla itu feminis?

    BalasHapus
  2. Tidak jelas adanya ideologi feminis di dalamnya. Novel itu hanya menggambarkan REALITAS yang terjadi dalam masyarakat, tanpa tampak keberpihakannya pada keterpurukan perempuan. Bahkan, novel itu maalah menggambarkan seorang perempuan (ibu) yang bobrok dan tidak usah dibela.

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Pinggiran - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template