Oleh
ARIYANTO
Banyaknya peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasikan perempuan membuat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Meneg PP dan PA) Linda Gumelar geleng-geleng kepala. Terlebih lagi di era otonomi daerah ini, banyak sekali peraturan daerah (perda) yang ’’tidak ramah’’ terhadap perempuan. Untuk itu, dalam program 100 hari pertama rencana kerja, Linda akan meningkatkan koordinasi untuk memberikan landasan yang kuat bagi percepatan penyusunan peraturan perundang-undangan yang responsif gender dan melakukan advokasi.
’’Kita akan berkoordinasi dengan Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM agar ada harmonisasi peraturan perundang-undangan. Tidak melanggar peraturan lebih tinggi, yaitu UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konstitusi,’’ kata Linda dalam diskusi terbatas Pencanangan Program 100 Hari Kerja di kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemneg PP dan PA), Jalan Medan Merdeka Barat No 15, Jakarta Pusat, kemarin.
Diakui Linda, mengharmonisasikan perda ini bukan pekerjaan mudah di era otonomi daerah ini. Sebab, atas nama otonomi, kepala daerah merasa punya hak untuk membuat peraturan sesuai kultur masyarakatnya. ’’Kita akan mengadvokasi pemerintah daerah dan DPRD supaya dalam menyusun perda memperhatikan masalah pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Bukan sebaliknya, mendiskriminasikan perempuan dan tidak ramah terhadap anak,’’ ujar Linda.
Selain itu, pihaknya juga akan melakukan silaturahmi kepada legislatif perempuan yang baru terpilih pada pemilu 2009 agar aspiratif gender sehingga melahirkan kebijakan responsif gender. ’’Pertemuan ini sebagai apresiasi terhadap perempuan. Jumlah perempuan di DPR saat ini 18 persen. Ini jumlah tertinggi dalam sejarah politik di Indonesia. Tentu kita juga sangat berharap kepada laki-laki legislatif,’’ tegas Linda.
Sedangkan dari sisi kebijakan, lanjut Linda, kementerian ini akan menyusun naskah akademis RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender. ’’Supaya tidak ada lagi peraturan yang mendiskriminasikan perempuan,’’ harap dia.
Seperti diketahui, belakangan ini banyak bermunculan peraturan bernuansa agama. Umumnya, peraturan itu lebih menitikberatkan kepada perempuan sebagai objek hukum daripada subjek hukum. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut ada 16 produk kebijakan yang membatasi ruang gerak, cara berpakaian dan perilaku perempuan dalam rangka kesusilaan dan moralitas.
Beberapa yang bisa disebut adalah Perda No 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang, Provinsi Banten; Perda No 6/2000 tentang Kesusilaan di Kabupaten Garut, Jawa Barat; Perda No 4/2003 tentang Busana Muslim di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, yang mewajibkan para PNS mengenakan busana muslim, kalau tidak mereka akan mengalami diskriminasi dalam hal kepegawaian; dan perda syariat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Wilayatul Hisbah (polsii syariat) melakukan razia terhadap perempuan berpakaian ketat di Lambaro, Kecamatan Inginjaya dan Simpang Ketapang. (*)
INDOPOS, 12 November 2009
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !