Oleh
ARIYANYO
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hampir pasti menang Pilpres 2009. Pekerjaan rumah SBY berikutnya adalah membentuk kabinet untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Konon, sejumlah partai politik pengusung SBY sudah meminta dan menyiapkan nama-nama yang akan mengisi kabinet tersebut. Ada yang terang-terangan. Tapi ada pula yang malu-malu. Pengajuan nama itu katanya merupakan bentuk kontrak politik. Hah? Barangkali–pikir mereka–kini saatnya bagi-bagi kue kekuasaan.
Kabinet Presidensial
Dalam sistem multipartai, orang partai dimungkinkan. Namun, dalam kabinet presidensial, sudah saatnya yang mengisi kabinet kalangan profesional. Andaikan mau memasukkan beberapa menteri ke kabinet, hendaknya dari para ahli. Plus harus punya integritas dan kompetensi. Punya komitmen untuk memajukan negeri di atas kepentingan partai dan golongan.
Untuk itu perlu ada kontrak politik yang jelas. Misalnya, orang partai yang dimasukkan ke kabinet harus nonaktif. Bukan anggota partai lagi. Tidak pengurus partai. Apalagi menjadi badan pemenangan pemilu. Ini penting supaya mereka dapat bekerja lebih optimal. Bukan menjadi perpanjangan tangan partai. Jangan sampai jika menterinya dari partai A, eselon 1 dan 2-nya kemudian dari partai A. Ini sekaligus mencegah politisasi birokrasi. Merawat netralitas pegawai negeri sipil (PNS).
Pilihan ini memang berat. Parpol pasti berteriak lantang. Berusaha memasukkan kader-kader terbaiknya untuk duduk di kabinet. Ketika SBY menggandeng Boediono menjadi pendampingnya untuk maju pilpres 2009 saja, banyak parpol ’’iri’’. Mengapa cawapres SBY itu tidak dari partainya? Khususnya partai yang menduduki posisi lima besar?
Sebenarnya SBY tak perlu khawatir dengan protes keras dan bahkan ancaman parpol. Mengapa? Pertama, SBY dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia. Perolehan suaranya tidak main-main. Di atas 60 persen (berdasarkan quick count). Melebihi jumlah suara yang diraup Presiden Amerika Serikat Barack Obama, 52 persen.
Parpol yang ngotot agar kadernya dimasukkan ke kabinet pasti akan dicemooh. Masyarakat akan berpikir bahwa parpol tersebut hanya cari kekuasaan. Kalau rakyat beranggapan seperti itu, siapa yang rugi? Tentu partai sendiri. Rakyat tidak akan mempercayai mereka lagi. Tidak dipilih dalam pemilu. Partai pun bubar.
Kedua, SBY tidak pernah menjanjikan posisi menteri kepada partai-partai tersebut. Koalisi pendukung SBY yang dibangun tersebut hanya bersifat umum. Saat koalisi dibentuk, bukankah SBY sudah mewanti-wanti kabinet yang disusunnya bersifat presidensial? Semua keputusan ada di tangan SBY.
Ketiga, kabinet bisa kembali berantakan. Masih ingat pemilu legislatif (pileg) 9 April 2009? Para menteri sibuk berkampanye. Baik sebagai calon anggota legislatif maupun pemburu kursi R-1. Padahal, saat itu pemilihan presiden masih beberapa bulan lagi setelah pileg.
SBY sendiri seolah tak berdaya menghadapinya. Hingga SBY terpaksa membeberkan ’’aib’’ anak buahnya itu ke media. Melalui media, orang nomor satu di Indonesia itu meminta anggota Kabinet Indonesia Bersatu meningkatkan kinerja demi kesejahteraan rakyat sampai masa jabatannya berakhir. Bukan mengurusi kepentingan dirinya sendiri. Tapi rupanya imbauan itu masuk telinga kiri ke luar telinga kanan. Kabinet berantakan.
Terganggunya roda kabinet sangat beralasan. Dari 36 anggota kabinet, 18 orang di antaranya memiliki latar belakang partai politik. Baik sebagai pengurus parpol, ketua badan pemenangan pemilu, hingga maju sebagai calon anggota legislatif.
Mereka dari delapan partai pendukung pemerintah seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, PKPI, PPP, PBB, PAN, dan PKS. Sebut saja Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, caleg dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dapil Sulawesi Tengah dan Menteri Negara Percepatan Desa Tertinggal, Lukman Edy dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), caleg DPR dapil Provinsi Riau.
Bahkan, empat pembantu presiden di antaranya merupakan ketua umum parpol, yaitu Wapres Jusuf Kalla (Golkar), Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta (PKPI), Menteri Negara Koperasi dan UKM Suryadharma Ali (PPP), dan Menteri Kehutanan MS. Kaban. Satu di antaranya telah menyatakan diri maju sebagai capres dari PKPI, Meutia Hatta.
Selain minta ’’bantuan media’’, SBY juga mohon pertolongan mesin politiknya, Partai Demokrat. Dalam rapimnas di Jakarta yang berakhir 9 Februari 2009, pimpinan partai berlambang mercy itu me-warning sejumlah menterinya yang berlatar belakang parpol agar tetap melaksanakan tugas hingga akhir.
Tidak hanya itu. SBY juga menerbitkan peraturan pemerintah (PP) No 14 Tahun 2009 untuk melaksanakan kampanye Pemilu Legislatif dan Presiden 2009 pada Kamis (12/2). Dalam melaksanakan kampanye pemilu, pejabat negara itu harus melakukan cuti atau nonaktif.
Reformasi Birokrasi
Dalam Debat Capres di Jakarta (18/6/2009), SBY menjanjikan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Di antaranya berupa reformasi birokrasi, pencegahan KKN, dan peningkatan kemampuan pejabat. Reformasi birokrasi termasuk salah satu dari 15 prioritas program SBY.
Kaitannya dengan reformasi birokrasi, SBY seharusnya mengisi kabinetnya dengan orang-orang yang memiliki integritas dan kapabilitas. Tidak punya konflik kepentingan (conflict of interest). Ini juga untuk melaksanakan amanat UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara yang diputuskan DPR bersama Pemerintah pada 21 Oktober 2008. Di dalam Pasal 23 UU tersebut dinyatakan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; C. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Partai politik adalah organisasi yang dibiayai negara.
Selain harus profesional, kabinet baru nanti, secara struktur, juga harus lebih efektif dan efisien. Jika merujuk kepada UU Kementerian Pasal 6 dan Pasal 15, jumlah kementerian negara maksimal 34 unit dan tidak selalu satu urusan diurus oleh satu kementerian. Dengan demikian, perlu ada pengurangan dari kabinet yang ada sekarang. Pembatasan ini juga bagian dari upaya reformasi birokrasi.
Karena itu, daripada sibuk membangun ’’Kabinet Partai Bersatu’’ lagi, lebih baik membentuk ’’Kabinet Indonesia Bersatu’’ sesungguhnya. Supaya slogan ’’Bersama Kita Bisa’’ benar-benar terwujud. Bukan sekadar jargon. Dijadikannya Prof DR Boediono sebagai wakil SBY merupakan langkah bagus. Mantan Gubernur Bank Indonesia itu dari kalangan ahli. Bukan orang partai. Ini akan lebih solid lagi ke depannya. Jika mind-set ini diteruskan dalam pembentukan kabinet, maka akan jauh lebih baik. Supaya kabinet tidak berantakan lagi. (*)
INDOPOS, 14 Juli 2009
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !