Oleh
ARIYANTO
Era reformasi telah membawa banyak perubahan mendasar. Demokrasi dan otonomi daerah merupakan dua buah manis ’’pohon reformasi’’ yang ditanam sejak 1998. Namun sayang, hal itu tidak diikuti reformasi birokrasi secara menyeluruh. Struktur birokrasi di pusat kian menggurita. Mirip dinosaurus. Banyak makan, semua disantap, tapi jalannya lamban.
Padahal, untuk saat ini, dinosaurus sudah tidak sesuai ’’habitat’’. Zaman telah berubah. Dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah, mestinya organisasi maupun lembaga di pusat makin seksi. Lebih langsing. Bukankah pusat sudah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri?
Selama 25 tahun terakhir organisasi pemerintah pusat memang mengalami obesitas. Hampir semua departemen, kementerian, dan lembaga pemerintah menjadi raksasa. Ada beberapa penyebab ’’kegemukan’’ ini.
Pertama, pembentukan departemen baru. Misalnya, Kementerian Negara Perumahan Rakyat dalam Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, kementerian ini tidak ada. Mestinya, kementerian ini cukup diurus satu direktorat di Departemen Pekerjaan Umum saja. Begitu pula yang mengurus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Semula hanya satu direktorat di Departemen Keuangan, lalu menjadi Kementerian BUMN.
Kedua, pemecahan departemen. Misalnya Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada masa Megawati, departemen ini jadi satu. Tapi di masa SBY, dipecah menjadi Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan.
Ketiga, departemen ’’melahirkan’’ lembaga baru. Dulu satu direktorat jenderal, satu unit kerja eselon I, kini ’’beranak’’ menjadi organisasi baru. Dengan sumber daya manusia baru, kultur baru, dan prosedur baru. Misalnya Ditjen Agraria di Departemen Dalam Negeri menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memiliki banyak deputi atau unit kerja eselon I.
Apakah organisasi besar itu sudah sesuai dengan era otonomi daerah yang seharusnya urusan-urusan lebih banyak dikerjakan pemerintah daerah? Apakah organisasi pemerintah daerah sudah disiapkan? Inilah salah satu yang perlu dikaji dan menjadi sasaran reformasi.
Perampingan
Obesitas kabinet ini tidak boleh dibiarkan. Selain kurang enak dilihat–setidaknya menurut pengagum tubuh langsing–, obesitas banyak menimbulkan berbagai penyakit. Yaitu, ’’penyakit ’’ boros anggaran, ’’penyakit’’ sulit koordinasi dan pengambilan keputusan, dan ’’penyakit’’ tumpang tindih. Supaya obesitas kabinet ini tidak menimbulkan komplikasi penyakit lebih hebat, mau tidak mau harus diet ketat dan olahraga secara teratur.
Caranya dengan merampingkan kabinet. Idealnya, kabinet tidak lebih dari dua puluh orang. Beberapa departemen strategis yang selama ini tumpang tindih mesti digabung. Misalnya, Departemen Pertanian digabung dengan Departemen Kehutanan. Sekretariat Negara disatukan dengan Sekretariat Kabinet. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dimerger dengan Lembaga Administrasi Negara (LAN). Departemen Perindustrian dijadikan satu lagi dengan Departemen Perdagangan (Depperindag). Kementerian Negara Koperasi dan UKM cukup direktorat jenderal di bawah Depperindag.
Selain itu, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Pembangunan Daerah Tertinggal, digabungkan dengan Departemen Sosial. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dijadikan satu dengan Departemen Kesehatan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) dikembalikan lagi ke Departemen Dalam Negeri.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata juga tidak perlu ditangani seorang menteri. Kebudayaan bisa dimasukkan ke Departemen Pendidikan, sehingga namanya dikembalikan menjadi Depdikbud seperti dulu. Kementerian Pemuda dan Olahraga juga cukup menjadi ditjen di Depdikbud. Sedangkan pariwisata menjadi ditjen di Depperindag. Sebab, pariwisata merupakan ’’produk’’ yang harus dijual. Kementerian Negara Lingkungan Hidup juga tidak usah ditangani seorang menteri. Cukup ditjen di Departemen Pekerjaan Umum, dijadikan satu dengan ditjen tata ruang.
Kementerian yang tidak perlu juga harus ditiadakan. Misalnya, Pemberdayaan Perempuan. Pembubaran ini bukan berarti urusan memajukan perempuan tidak penting. Tapi, urusan ini sudah menjadi urusan pemerintah dan tanggung jawab seluruh masyarakat.
Dengan struktur kabinet ramping seperti ini, maka keberadaan menteri koordinator (menko) sudah tidak diperlukan lagi. Sebab, menko mengandaikan adanya kabinet gemuk, sehingga presiden sulit mengoordinasikan secara langsung. Ini artinya tanpa menko kabinet akan bisa bekerja lebih efektif dan efisien. Tidak melalui birokrasi yang rumit. Ini akan lebih seksi.
Kabinet Indonesia Seksi Sekali
SBY telah memenangi pilpres 2009. Pekerjaan SBY berikutnya adalah membentuk kabinet. Jika merujuk pada janji SBY mengenai tata kelola pemerintahan yang baik, di antaranya reformasi birokrasi, dalam debat capres di Jakarta (18/6), semestinya SBY membentuk kabinet jauh lebih ramping. Jika sebelumnya 36 menteri, sekarang paling banyak 20 menteri.
Selain merampingkan kabinet, tentu unsur lain seperti prosedur, kultur, sumberdaya manusia, dan lingkungan kerjanya, juga perlu dikaji dan direformasi secara menyeluruh. Di bidang SDM, misalnya. Kabinet harus diisi orang-orang yang profesional. Memiliki integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas. Bukan dengan bagi-bagi kursi partai politik.
Andaikan mengambil beberapa dari orang partai, tetap tidak boleh mengabaikan kriteria tersebut. Masih ada satu syarat lagi. Orang-orang ahli yang duduk di kabinet harus nonaktif dan menandatangani kontrak politik mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi dan golongan. Ini sangat penting agar kejadian dalam ’’kabinet pelangi’’ lalu tidak terjadi lagi. Kerja menteri tidak fokus karena masih menjalankan tugas-tugas partai.
Ini juga untuk melaksanakan amanat UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara yang diputuskan DPR bersama Pemerintah pada 21 Oktober 2008. Di dalam Pasal 23 UU tersebut dinyatakan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; C. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Partai politik adalah organisasi yang dibiayai negara.
Kabinet hasil diet ketat ini mungkin namanya nanti jangan Kabinet Indonesia Bersatu lagi. Tapi, Kabinet Indonesia Seksi Sekali. Menyingkatnya akan jauh lebih mudah dan gampang diingat: KISS! (nggak perlu diartikan ya?).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !