Oleh: Ariyanto
13-Nov-2008, 11:12:36 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan membentuk KPK Perwakilan kian santer berhembus. Maklumlah, publik kurang begitu mempercayai kepolisian dan kejaksaan untuk menangani kasus-kasus koruspsi. Kondisi ini masih diperparah dengan integritas sebagian penegak hukum ''konvensional'' yang sangat rendah.
Rencana melakukan ekspansi kekuasaan ini memang tidak bertentangan dengan Undang- Undang (UU) No 30/2002 tentang KPK. Sebab, dalam Pasal 19 ayat (2) UU tersebut menyebutkan bahwa KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Sebagian besar masyarakat tampaknya juga menaruh harapan sangat besar terhadap komisi ini. Berbagai sepak terjang KPK di dalam memberantas korupsi telah menumbuhkan kepercayaan publik. Tapi, cukupkah hanya dengan mendasarkan argumentai pada aspek legalitas dan sosial?
Jika benar wacana itu akan direalisasikan, maka birokrasi pemberantasan korupsi di Indonesia bisa semakin rumit. Antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian dapat terjadi tumpang tindih kewenangan. Apalagi jika masing-masing institusi mempunyai ego sektoral bahwa dirinya paling berhak menangani permasalahan tersebut. Walaupun bisa saja itu dipahami sebaliknya bahwa makin banyak insitutusi yang menangani korupsi maka semakin baik pula kondisi negeri ini. Bahasa agamanya berfastabiqul khoirots. Berlomba-lomba dalam hal kebaikan.
Tidak hanya itu. Kalau wacana itu benar-benar-benar diwujudkan, maka akan terjadi inflasi pegawai. Jika KPK membuka perwakilannya di masing-masing provinsi atau bahkan di daerah, berapa banyak aparat yang dibutuhkan. Belum lagi jika hal ini diikuti dengan dibukanya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di tingkat provinsi maupun di daerah layaknya pengadilan negeri di tingkat kabupaten atau kota maupun pengadilan tinggi di tingkat provinsi.
Bayangkan berapa banyak personel yang dibutuhkan. Berapa besar anggaran negara yang dikeluarkan. Ini pemborosan dan bisa membangkrutkan negara. Belum lagi jika gaji dan remunerasinya minta ditingkatkan karena mereka dianggap rentan disuap. Ini juga belum termasuk biaya pembangunan gedung maupun kebutuhan penunjang lainnya.
Karena itu, menurut hemat penulis, meski di dalam UU KPK diperbolehkan, bukan berarti kita harus membentuk perwakilan KPK di daerah. Sementara ini, KPK tetap di pusat saja dan terus bekerja keras memberantas korupsi. KPK harus terus menjaga spiritnya jangan sampai lemah, agar institusi kepolisian dan kejaksaan terus memperbaiki diri dengan menjalankan agenda reformasi internal mereka sebagai aparat penegak hukum yang profesional, jujur, dan berintegritas.
Membersihkan ''sapu''-nya masing-masing supaya ketika dipakai membersihkan kotoran bisa benar-benar menjadi bersih, bukan sebaliknya malah bikin kotor.
Jangan terulang lagi kasus jaksa-jaksa nakal yang tertangkap basah melakukan ancaman dan pemerasan seperti Jaksa Penyelidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Urip Tri Gunawan dan Kepala Kejaksaan Negeri Tilamuta, Boalemo, Gorontalo, Ratmadi Saptondo. Ratmadi dicopot Kejaksaan Agung karena beredar rekaman pembicaraannya yang mengancam dan memeras pejabat daerah Gorontalo sekaligus menghina satuan penegak hukum lainnya.
Kalau kepolisian dan kejaksaan mampu mereformasi dirinya dan mampu memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, maka sebenarnya KPK sukses menjalankan perannya sebagai trigger mechanism. KPK memang didesain untuk mendorong dan memicu lahirnya semangat dan tradisi baru dalam penegakan hukum, khususnya bagi aparat penegak hukum konvensional. Dan, salah satu latar belakang berdirinya KPK karena aparat penegak hukum konvensional gagal mengemban amanat konstitusi, yakni memberantas korupsi.
Dengan demikian, maka institusi KPK sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi. Tugas pemberantasan korupsi seyogyanya dikembalikan kepada penegak hukum konvensional. Tak perlu lagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Cukup diserahkan kepada pengadilan umum. Birokrasi kita juga akan semakin sederhana, tidak gemuk, dan efisiensi anggaran negara. Anggaran yang ada bisa dialokasikan untuk kepentingan lain demi sebesar-besar kesejahteraan rakyat. (*)
Ariyanto, Alumnus S-2 Ilmu Filsafat UI, Depok
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !