Oleh: Ariyanto
07-Nov-2008, 08:09:58 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Setelah kontroversi tentang rencana perpanjangan pensiun Hakim Agung hingga usia 70 tahun mulai mereda, diam-diam pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 65 tahun 2008 tentang perpanjangan usia pensiun pejabat eselon satu hingga 62 tahun.
Sejatinya, usia pensiun pegawai negeri sipil (PNS) hanya sampai 56 tahun. Berdasarkan Peraturan Pemerintah sebelumnya, bisa diperpanjang hingga 58 tahun. Kemudian muncul peraturan baru yang bisa molor hingga 60 tahun. Kini, dengan dikeluarkannya aturan terbaru, PP No. 65/ 2008, malah bisa diperpanjang sampai 62 tahun.
Kasak-kusuk tentang penerbitan PP terbaru di kalangan PNS ini telah ramai dipergunjingkan. Kabarnya, PP tersebut dibuat untuk memperpanjang jabatan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Darmin Nasution, dan Dirjen Bea Cukai, Anwar Suprijadi, yang akan pensiun pada Januari 2009. Keduanya, Ditjen Pajak dan Bea Cukai, berada di bawah Departemen Keuangan yang dipimpin oleh Sri Mulyani.
Tak terkecuali, PP yang diundangkan di Jakarta pada 9 Oktober 2008 tersebut dalam beberapa hari terakhir pun menjadi perbincangan hangat di kalangan birokrat Ibukota. Mereka tidak habis pikir kenapa pemerintah sampai menerbitkan PP seperti itu.
Beberapa pejabat eselon satu dan dua berpendapat bahwa PP itu tidak hanya menghambat kaderisasi, tapi juga menambah masalah kepegawaian, rawan untuk dimanipulasi karena kriterianya tidak jelas dan terkesan mempertahankan rezim.
Dikatakan menghambat regenerasi karena dengan perpanjangan batas usia pensiun berarti kesempatan ke jenjang karir lebih tinggi menjadi tertunda. Pejabat eselon dua yang sudah ''berkemas-kemas'' ingin menduduki kursi eselon satu menjadi molor.
Lebih dikhawatirkan lagi, kebijakan ini juga bisa membawa efek domino bagi pejabat-pejabat di daerah. Bagaimana kalau Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) yang merupakan satu-satunya pejabat eselon satu di daerah dan merupakan sentra resources, baik di sektor keuangan, kepegawaian, kebijakan, dan jaringan juga turut meminta perpanjangan usia pensiun?
Ini tidak saja gawat karena bisa terjadi politisasi birokrasi tapi juga membahayakan mesin birokrasi. Mesin birokrasi yang mestinya sudah diremajakan dibiarkan aus, sementara birokrasi yang merupakan operator negara mempunyai tugas yang kian hari makin berat.
Tak ayal PP ini akan membuat jabatan eselon satu akan diisi para jompo seperti di MA (Mahkamah Agung) dan melukai perasaan masyarakat ketika kepercayaan terhadap kinerja birokrasi masih terpuruk.
Bahkan, PP itu terkesan menghambat upaya reformasi birokrasi yang saat ini selalu digembargemborkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan telah menjadikan Departemen Keuangan sebagai pilot project reformasi birokrasi.
Namun nasi sudah menjadi bubur karena PP ini sudah telanjur keluar. Maka penerapannya harus benar-benar objektif. Jangan sampai hal itu menjadi politisasi birokrasi, apalagi menjelang pemilihan umum 2009.
Mantan Gubernur DKI Jakarta periode 1992-1997, Soerjadi Soedirja, ketika dimintai tanggapannya terkait hal ini, hanya bisa berpesan bahwa objektivitas harus terjaga, dilakukan selektif mungkin melalui Tim Penilai Akhir (TPA) dan jangan sampai menganggu regenerasi.
Tapi bisakah regenerasi tidak terganggu dengan PP ini? Dirjen Bea dan Cukai, Anwar Suprijadi, ketika dikonfirmasi terkait rencana perpanjangan usia pensiunnya hanya mengatakan: "Percayakan saja kepada sistem dan jangan merusak regenerasi".
Ariyanto, Alumnus S-2 Ilmu Filsafat UI, Depok
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !