Headlines News :
Home » » Memotret Istana melalui Daniel Sparringa, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik

Memotret Istana melalui Daniel Sparringa, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik

Written By Unknown on Minggu, 29 Agustus 2010 | 16.56

Oleh
ARIYANTO


Senang, Lihat sang Profesor Tidur 4,5 Jam Sehari

Publik barangkali hanya tahu kebijakan yang diproduksi Istana. Tapi, tak banyak orang mengerti apa yang terjadi di balik itu. Melalui DR Daniel Sparringa, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, masyarakat dapat memeroleh gambaran terang tentang Istana. Seperti apa?
Daniel Sparringa awalnya seorang aktivis. Pemimpin demo. Komandan parlemen jalanan. Namun setelah lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, pada 1983, Daniel mengajar di jurusan Sosiologi Unair. Setelah delapan tahun menjadi dosen, dia mengambil program master di bidang Sosiologi di Flinders University, Australia, dan pada 1997 meneruskan program doktor di universitas yang sama.
Pria kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur, 25 Juni 1959, ini kemudian menjadi pengamat. Independen, kritis, dihormati, dan diperhitungkan. Dari 1998 hingga 2008, Daniel mendedikasikan dirinya untuk memperkuat civil society (masyarakat sipil). Selama sepuluh tahun itu, dia tidak pernah memikirkan dirinya, termasuk kepangkatannya di Unair. Dia telah mengikrarkan diri tidak terlibat dalam politik. Berbagai tawaran pun ditampik. ’’Karena di tahun-tahun tersebut, Indonesia berada di masa transisi,’’ terang Daniel kepada saya di ruang kerjanya, Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Negara, Rabu lalu, (25/8).
Ketika masa transisi berlalu, Daniel terpanggil menerima tawaran jadi staf khusus presiden. Pada 2004, tawaran itu sempat ditolak karena ’’nazar’’ belum dilalui. Tapi ketika tawaran itu datang kedua kalinya pada 2009, Daniel tak ingin menyia-nyiakannya. Sebab, dia merasa tahu apa yang akan dilakukan di Istana. ’’Pak SBY ini pantas dan layak dibantu karena visi dan misinya yang luar biasa sekaligus sisi lain dari kehebatan dirinya,’’ terang pria yang harus bolak-balik Jakarta-Surabaya dua minggu sekali.
Tiga bulan pertama menjadi staf khusus, Daniel merasa tidak hanya menerima kenyataan baru, tapi juga menjalaninya. ’’Sekarang sudah punya atasan. Beda saat masih mengajar. Rektor kan tidak menyentuh wilayah otonom dosen,’’ terang dia.
Namun, berada di lingkaran Istana tidak membawa banyak perubahan bagi dirinya. Daniel tak merasa kehilangan kemerdekaan. ’’Saya hanya memindahkan kemerdekaan. Kalau dulu di tempat publik, sekarang di Istana. Dan, saya kira, ini (mengabdi di Istana) lebih langsung, lebih segera dan juga mungkin lebih efektif. Saya merasa sangat beruntung menjadi bagian dari pengambil keputusan penting,’’ ujar dia.
Daniel menjelaskan, selama ini, ada gap besar di dalam dan di luar Istana seperti disampaikan para pengamat. Ada jarak menganga antara kebenaran sejati dan persepsi yang berkembang melalui media.
Kemengangaan ini muncul karena ruang publik itu merupakan sebuah pasar yang sangat penuh dengan hiruk pikuk dan ingar bingar kedudukan, pengkhianatan, dan lain-lain yang kadang tidak mudah membedakan mana baik dan buruk. ’’Tapi ada sumbangan dari kami. Salah satu sumbangan itu adalah Istana sangat sibuk dan membiarkan dirinya hingga persepsi negatif itu berkembang. ’’Kini saatnya memuat kembali potret yang dijungkirbalikkan,’’ tutur dia.
Memang, niat dan perbuatan yang baik, lanjut Daniel, jika tidak disosialisasikan bisa ditangkap berbeda. ’’Saatnya membersihkan gambar itu bersih dari jelaga. Ini nanti yang akan membuat saya sibuk di hari-hari ke depan,’’ ujar dia.
Apa yang telah dilakukan selama sembilan bulan menjadi staf khusus?
Tiap hari presiden bertemu staf khusus. Tidak ada institusi manapun yang lebih dekat dibandingkan staf khusus. Ke mana-mana staf khusus dibawa. ’’Interaksi sangat intensif, dekat tanpa jarak, dan komunikasi langsung ini membuat kami bisa mengatakan apa yang harus dikatakan sekaligus mendengar. Dialektika ini dapat membawa pengaruh sangat penting,’’ tutur suami Dendawarti Sparringa ini.
Daniel menuturkan, pekerjaannya dan juga staf khusus lainnya jauh lebih mudah karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat terbuka. Presiden bersedia mendengar. Juga selalu berargumentasi sebagai sesama. Walaupun presiden dengan segala kebijaksanaannya akhirnya yang memutuskan. ’’Tapi beliau sangat mendengar dan memiliki perspektif luas. Seorang presiden, profesor, sekaligus seniman. Istilah ini saya buat penuh respect,’’ puji Daniel.
Ketika lagu SBY diputar, misalnya. Banyak orang berlinang air mata. ’’Karena saya pengamat, saya melihat banyak yang melelehkan air mata dan orang-orang mendadak jadi patung. Tidak berani menoleh ke kiri dan kanan karena takut kelihatan menangis,’’ kenang dia.
SBY, di mata Daniel, juga seorang pemikir dengan segala tabiat, kecenderungan, dan karakter. Dia membawa kombinasi yang baik dan hebat menjadi pemimpin visioner. ’’Sekaligus Jawa?’’ celetuk saya.
Mendengar pertanyaan itu, Daniel sejenak terdiam dan terlihat seperti berpikir keras. Dia kemudian mengambil sebuah buku dan tampak mencatat sesuatu. ’’Ini menarik, sangat perseptif,’’ tandas dia. ’’Tapi saya kira, kejawaan SBY terlihat dari kuatnya dorongan untuk tidak mengumbar amarah yang mengakibatkan sejumlah orang sakit karena tersinggung,’’ lanjut dia.
SBY, kata Daniel, memilih menutup rapat-rapat bibirnya ketika diajak membicarakan para pemimpin dan tokoh Indonesia yang sekarang maupun terdahulu. Tidak pernah dalam briefing terdapat nafas yang menjelek-jelekkan. Ketika memasuki wilayah itu, SBY buru-buru mengalihkan ke pembicaraan lain yang lebih produktif.
Apa masukan Daniel paling berkesan? ’’Saya pernah memberikan saran ke dia. Saat weekend jangan ada kegiatan selain tidur dan istirahat,’’ ungkap dia.
Esoknya, Daniel dipanggil SBY. Presiden pun berterima kasih karena malamnya bisa beristirahat 4,5 jam. ’’Lumayan dapat tambahan satu jam,’’ kata SBY kepada Daniel.
Daniel lalu menahan nafas. ’’Luar biasa. Saya pekerja keras. Saya tidur 5 jam per hari. Tapi ketika melihat satu orang ini, saya tidak bisa menandingi,’’ ungkap dia.
Tapi, tambah Daniel, seorang presiden harus disadarkan bahwa dia dibantu menteri dan 12 staf khusus presiden yang berani dan berjibaku untuk membantunya.
Menurut dia, banyak sekali masukan Daniel kepada SBY yang sangat berkesan. Namun, di dalamnya ada banyak sensitivitas, sehingga tidak semua bisa diceritakan. Di antaranya, agar presiden merelakan diri terlibat dalam percakapan yang formatnya lebih informal, lebih akrab, tanpa jarak, lebih cair. Bahasa metaforanya membiarkan pundak dan pinggulnya lepas. Menjadi dirinya sendiri yang lebih cair dari situasi orang kebanyakan.
Lalu, apa yang dilakukan Daniel ketika SBY dianggap reaktif terhadap kritik yang mengatakan SBY itu mirip kerbau?
Daniel mengungkapkan, sebelum menyampaikan tanggapannya ke publik, SBY selalu berkonsultasi terlebih dulu. Ketika kritik kurang etis itu terjadi, Daniel menjadi bagian dari luka. ’’Untuk waktu lama, dia (SBY) berhenti dan berbagi luka itu dengan kami dan adakalanya merefleksikan keluar. Ini biasanya setelah berbulan-bulan menyimpannya sendiri bersama kami. Ini seperti magma yang sudah lama disimpan. Itu bukan melodramatik, sentimentil, atau curhat. Kata-kata itu tidak cukup untuk menggambarkan,’’ papar Daniel.
Ketika digambarkan seperti kerbau, Daniel sangat muram. Kalau seseorang digambarkan seperti itu, kata Daniel, mungkin 90 persen orang mengatakan akan mengembalikan ke penyerangnya. Tapi SBY tidak melakukan itu. Presiden asal Pacitan, Jawa Timur, ini juga tidak menggunakan keahliannya untuk berdiplomatik. Misalnya, dengan mengatakan kerbau itu binatang yang bekerja sangat keras di bawah terik matahari. Bahkan, SBY mencegah dirinya tidak memakai argumentasi seperti itu untuk membuat keadaan lebih baik. Padahal, sebenarnya, SBY banyak keistimewaan untuk mengembalikan serangan itu.
’’Saya menganjurkan untuk menggunakan diplomasi itu. Tapi SBY tidak mau. Ini cara yang tidak banyak dilakukan orang. Saya sangat menghargai keputusan itu,’’ kata Daniel.
Begitu pula ketika ada konvoi Presiden yang dianggap membuat macet. Ada pertanyaan, kenapa presiden tidak tinggal di Istana? ’’Pertanyaan itu bagi kami sangat menggemaskan karena kita gagal dalam menangkap hal-hal sederhana yang kemudian diributkan orang. Kenapa sih orang tidak mempermasalahkan sejak dulu?’’ tanya Daniel sembari geleng-geleng kepala.
Begitu pula ketika presiden mengatakan tidak berminat maju lagi sebagai presiden. Masih ada orang yang mengatakan ini sandiwara. ’’Hal lain apa yang harus kita katakan agar orang mengerti? Banyak pertanyaan serupa yang tidak mudah untuk memberi jawaban. Seringkali saya harus mengalah, biarlah waktu yang harus menjawab. Memang, terkadang kebenaran itu datang agak terlambat,’’ ujar Daniel yang dilantik sebagai staf khusus Presiden pada 20 November 2009. ’’Agar tidak terganggu kerjaannya, Presiden tampaknya perlu ruang privat agar bisa tidur nyenyak dan bekerja lebih fokus,’’ lanjut dia.
Ke depan, tugas staf khusus bidang komunikasi politik tidaklah mudah. ’’Tapi, jurusnya, adalah mengatakan apa yang dilakukan dan melakukan apa yang sudah dikatakan,’’ pungkas Daniel. (*)

INDOPOS, 28 Agustus 2010
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Catatan Pinggiran - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template