Oleh:
ARIYANTO
13-Mei-2009, 10:12:56 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Banyak hal baru dalam pemilihan umum 2009. Mulai tata cara memberikan suara, penetapan anggota legislatif, hingga jumlah calon anggota legislatif (caleg) dan partai politik peserta Pemilu. Jika pemilu 2004 cara memberikan suara dengan mencoblos, pada pemilu 2009 cukup mencontreng nama caleg. Penetapan anggota legislatif juga berubah. Kalau sebelumnya berdasarkan nomor urut dan suara terbanyak, sesuai kebijakan masing-masing partai, kini dibuat seragam. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, anggota legislatif ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.
Pemilu 2009 ini juga menarik jika dilihat dari sisi jumlah caleg dan partai. Jika pada 2004 jumlah partai peserta pemilu hanya 24 buah, sekarang membengkak menjadi 38 partai ditambah 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Jumlah caleg yang memperebutkan kursi juga membeludak. Ada 11.301 caleg untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 1.116 caleg Dewan Perwalilan Daerah (DPD), puluhan ribu caleg DPRD provinsi, dan ratusan ribu caleg DPRD kabupaten/kota. Padahal, total kursi legislatif tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan DPD hanya 18.440 kursi.
Hal-hal baru ini tak jarang membawa banyak keanehan. Ada orang yang sangat terobsesi ingin menjadi caleg sementara dia tidak punya pengalaman organisasi dan ilmu memadai. Dia rela menjual sawah, rumah, mobil, atau apa saja untuk biaya kampanye. Bahkan, tak sedikit yang mencari dana kampanye dengan cara melawan hukum. Selain dipakai dana kampanye, uang yang berhasil dikumpulkan itu dipergunakan untuk membeli nomor urut topi alias nomor urut jadi.
Dengan nomor urut 1 ini, dia tidak perlu berjuang keras supaya terpilih. Melihat ketidakadilan ini, wajar jika kemudian caleg yang mendapatkan nomor urut sepatu alias nomor urut bawah dari partainya tidak bersemangat mengikuti persaingan. Sebab, andaikata bisa mengumpulkan banyak suara, suara itu akan dikasihkan ke nomor urut jadi. Itu sebabnya, sebagian mereka ada yang mengundurkan diri sebagai caleg.
Untungnya, di tengah pro kontra nomor urut versus suara terbanyak, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan bahwa anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak. Pasca keputusan ini, giliran caleg nomor urut jadi yang ramai-ramai mengundurkan diri karena mereka yakin tidak akan terpilih. Bisa karena tidak popular, tidak kredibel, atau tidak berintegritas. Padahal, mereka sudah masuk daftar caleg tetap (DCT) yang secara aturan tidak boleh mengundurkan diri karena kertas suara telah tercetak. Cara kampanye caleg maupun partai juga ’’aneh’’. Mulai mendatangi makam keramat, bersih-bersih kuburan tokoh masyarakat, memunguti sampah, memberikan pijat gratis, hingga kampanye di tempat bencana. Mereka membantu, tapi ada pesannya: Contreng Nama A, Caleg DPR RI dari Partai Durian. Membantu tapi tidak tulus.
Baliho caleg yang terpampang di pohon-pohon dan tempat lainnya juga nyelenh. Ada caleg yang memakai baju Gatot Kaca, baju Superman, hingga dimirip-miripkan wajahnya dengan Obama. Jauh dari kesan serius. Bagaimana kalau sudah duduk di DPR? Ini keanehan dari sisi caleg. Dari sisi simpatisan juga aneh. Ada simpatisan yang sangat loyal terhadap mereka yang memberi uang. Bukan loyal kepada partai lagi sehingga harus membela partai mati-matian. Dalam sehari, dia bisa mengikuti kampanye terbuka setidaknya di tiga partai. Sebab, masing-masing partai memberikan ’’uang lelah’’ dengan nominal berbeda-beda. Jadi, ketika ada kampanye terbuka, jangan langsung terpukau dengan banyaknya simpatisan.
Masyarakat juga aneh. Ketika didatangi caleg yang mensosialisasikan diri, dia meminta uang. Ketika diajak bergabung ke partai tertentu, dia bertanya dapat sembako apa tidak? Saat diundang mencontreng, dia bilang ada imbalan apa tidak? Lebih aneh lagi, masyarakat ternyata juga banyak memilih caleg yang sudah ditetapkan menjadi tersangka korupsi oleh KPK. Bahkan, caleg terkenal yang sudah meninggal juga dicontreng.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tak kalah aneh. Ada masalah distribusi logistik pemilu hingga pemilu di beberapa tempat terpaksa ditunda, kisruh daftar pemilih tetap (DPT), jadwal kampanye terbuka yang kacau, hingga kertas suara yang tertukar, sobek, dan sudah dicontreng. Setelah pencontrengan, bukan berarti keanehan itu berakhir. Berdasarkan penghitungan cepat dari berbagai lembaga survei kredibel, dari 38 partai nasional, hanya 9 partai yang akan melenggang ke Senayan.
Sebab, untuk bisa masuk ke Senayan, sesuai UU pemilu, raihan suara minimal 2,5 persen. Bagaimana caleg yang berhasil mendapat kursi tapi partainya tidak lolos parliamentary threshold (PT) karena perolehan suaranya secara nasional tak mencapai 2,5 persen? Para caleg itu tetap tidak bisa duduk di kursi Dewan karena suara partainya tidak memenuhi ketentuan PT. Nah, di sinilah keanehan demokrasi itu kembali muncul. Semangat awal mencantumkan nama caleg di kertas suara pemilu adalah supaya masyarakat tidak seperti membeli kucing di dalam karung sebagaimana pemilu sebelumnya.
Masyarakat tahu seberapa kredibel caleg yang akan dipilih. Tidak mencoblos gambar partai lagi. KPU pun menginginkan agar nama caleg dibuat lebih besar dan gambar partai diperkecil agar terlihat lebih mencolok. Alasannya, rakyat Indonesia memilih caleg, bukan partai! Namun, ketika rakyat Indonesia mencontreng caleg sesuai idealitas mereka, dan caleg tersebut berhasil mendapatkan kursi, tiba-tiba harus dibatalkan karena aturan PT tadi. Hak caleg melangkah ke Senayan ikut melayang.
Lalu, mau dikemanakan suara caleg yang lolos ke DPR? Hangus? Dibeli? Dikasihkan ke caleg atau parpol lain? Bagaimana perasaan caleg yang mendapatkan amanah dari rakyat dan perasaan rakyat yang telah memberikan amanah kepada caleg? Inilah keanehan dari aturan pemilu kita. Dari semula semangatnya meninggalkan hegemoni partai, ternyata kembali menghidupkan dominasi partai. Perlukah aturan PT itu di-judicial review?
Entah cara apa lagi yang akan dilakukan. Sebab, MK pernah menolak membatalkan pasal yang mengaturnya. Melihat berbagai keanehan ini, wajar jika kemudian perilaku sebagian masyarakat kita juga aneh. Di saat bangsa Indonesia menggelar pesta demokrasi, mereka asyik berpelesir ke tempat-tempat wisata atau tidur. Golput pun meningkat, mencapai 40 persen lebih. Kini, menjelang pemilihan presiden (pilpres) yang akan digelar pada 8 Juli mendatang, kita kembali dihadapkan pada keanehan koalisi. Dalam koalisi ini sudah tidak ada lagi perbedaan ideologis. Tidak ada lagi perbedaan agama.
Partai berbasis Islam bisa berkoalisi dengan partai berbasis Kristen. Partai berbasis agama bisa berkoalisi dengan partai nasionalis. Partai peninggalan Orde Baru bisa berkoalisi dengan partai Orde Reformasi. Bahkan, partai yang selam ini menjadi kelompok oposisi, tiba-tiba berkoalisi dengan partai pemerintah. Padahal, si oposisi ini mengkritik kebijakan pemerintah habis-habisan. Dan sebaliknya, partai pemerintah yang sebelumnya gerah dengan berbagai kritik pedas dan memerahkan telinga, tiba-tiba mau bergandeng tangan. Memang tidak ada musuh abadi dalam politik. Yang ada hanya kursi sejati! Ideologi juga akhirnya berakhir. Andaikata ada ideologi, itu hanyalah topeng untuk merebut kekuasaan. Dan, jika pada kemudian hari tidak menguntungkan lagi, topeng itu pun dilepas, hingga terlihat wajah aslinya.
Akhiri Keanehan Demokrasi
Untuk mengakhiri keanehan ini, pada pemilu 2014 mendatang harus ada pembatasan partai. Dari 38 partai nasional dan 6 partai lokal di NAD peserta pemilu 2009, barangkali bisa diambil paling banyak sembilan partai. Penentuan ini didasarkan pada hasil seleksi alamiah pada pemilu legislatif 9 April 2009. Mengapa perlu perampingan?
Perampingan ini perlu dilakukan supaya lebih memudahkan KPU di dalam menjalankan tugas-tugasnya, menghemat anggaran negara, dan tidak menyulitkan pemilih. Jumlah caleg yang bertarung dalam pemilihan legislatif juga harus dibatasi. Lebih bagus jika cuma tiga caleg yang tertera dalam surat suara. Namun, dari partai bisa menjaring bakal caleg sebanyak-banyaknya untuk kemudian diseleksi dan dipilih 3–5 caleg saja. Untuk menjaring bakal caleg yang berintegritas dan berkualitas, partai harus selektif. Tidak asal comot hanya untuk memenuhi kuota. Karena itu, perlu ada kontrol dari tim independen. Partai tidak boleh menjaring bakal caleg sendiri. Harus bersama-sama dengan tim independen yang anggotanya bisa dari kalangan akademisi, mahasiswa, LSM, atau tokoh masyarakat.
Mereka bisa bekerja sama untuk melihat rekam jejak dan menguji kompetisi bakal caleg tersebut. Cara ini bisa meminimalisasi kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) bakal caleg dengan petinggi partai dan mencegah masuknya bakal caleg berintegritas buruk dan tidak kredibel. Untuk itu, perlu ada pasal tambahan dalam UU partai politik yang sudah ada. Penulis yakin, dengan kualitas partai dan para caleg yang baik, maka akan membentuk wajah DPR, DPRD, dan DPD yang baik pula.
Jadi, kualitas Dewan memang tergantung dari kualitas partai dan caleg. Mengenai UU pemilu yang memuat aturan Parliamentary Threshold (PT) 2,5 persen suara, perlu di-judicial review. Aturan ini tidak sesuai dengan semangat mencontreng caleg. Sungguh aneh jika seorang caleg bisa lolos ke Senayan, sedangkan partainya tidak memenuhi PT, lalu caleg tersebut urung menjadi anggota Dewan. Ini mencederai demokrasi. Kalau PT masih dipertahankan, demokrasi menjadi anomali.
Ada pun mereka yang lolos menuju Senayan tanpa ada filter dari partai dan telanjur dipilih masyarakat, harus tetap dikontrol supaya tidak menyimpang selama menjalankan tugas. Mereka yang kemampuannya minim atau bahkan belum mengerti apa tugas-tugas anggota Dewan, perlu ada pelatihan khusus secara berkesinambungan. Sehingga, ketika memulai bertugas, sudah mengerti apa yang harus dikerjakan, bukan baru mau belajar. Bagaimana soal koalisi?
Dalam berkoalisi, seharusnya memang dengan mempertimbangkan visi dan misi partai, ideologi partai dan sebagainya. Bukan seperti kuali, apa saja bisa masuk, sehingga menjadi keruh. Itu seharusnya. Jika ada yang memilih berkoalisi sekadar bagi-bagi kursi di parlemen maupun kabinet, itu juga tidak apa-apa. Toh masyarakat kita semakin cerdas. Mana partai yang benar-benar memperjuangkan rakyat, dan mana yang berpura-pura membela rakyat. Kalau semua partai berpura-pura? Ya tetap tidak masalah.
Masyarakat juga bisa berpura-pura ikut pemilu. Mendatangi tempat pemungutan suara, tapi di dalam TPS cuma ingin menggambar kucing, ingin memberikan kumis, dan sebagainya. Tidak ingin kan ’’partai’’ golput menjadi pemenang seperti dalam pemilu legislatif 9 April 2009? Ada 49.677.076 yang tidak menggunakan hak pilihnya dan ada 17.488.581 contrengan tidak sah.
Total yang tidak sah ada 67.165.657 suara. Lalu, apa yang harus dilakukan agar pemilu pada masa mendatang lebih berkualitas? Jawabannya adalah mengakhiri segala keanehan demokrasi yang selama ini dilakukan. (*)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !